12.00 pm, 18/01/2021
Sebagai seorang mahasiswa koas tentu banyak tuntutan yang
harus kupenuhi. Mulai dari tuntutan dari orang tua, kampus, dan diri sendiri.
Kalau dibilang ini rumit, tentu ini rumit.
Setelah menyelesaikan S1 dulu, saat baru-baru masuk Koas,
dosen waliku pernah bilang (maaf aku gak
menyebutkan namanya), “Nanti kalian bakalan di fase, terhambat Koas itu
bukan karena pasiennya ataupun dosennya, tapi karena diri kalian.” Jujur aja,
sebelum masuk Koas, aku dapat banyak spoiler dari seniorku. Ternyata spoiler itu
lebih ngena waktu udah kita rasain.
Bulan depan, genap setahun aku koas alias setengah
perjalanan, tapi requirement yang aku
selesain belum setengah. Stress? Tentu. Sedih? Tentu. Mau gila? Tentu.
Disamping itu semua, yang membuatku tetap waras cuma dengan satu cara, yaitu ingat
kalau “Allah udah buat jalan
masing-masing untuk hambanya.”
“Diri kalian.” Ini yang mau kubahas berdasarkan apa yang
kurasain selama 1 tahun perjalanan ini. Pertama masuk koas awal bulan maret
2020, baru 2 minggu kerja di klinik abistu ada wabah covid-19. Pada awal
oktober kembali masuk klinik, setelah para petinggi kampus menemukan solusi
bagaimana mahasiswa Koas dapat berpraktik meskipun dalam keadaan wabah gini.
Dari maret-oktober, lebih kurang ada 6 bulan kosong yang ku isi dengan mandi,
makan, nonton, tidur, dan baca bacaan yang selama 4 tahun di S1 belum kubaca.
Selama 6 bulan itu, ada banyak hal yang kusayangkan, seperti
“kenapa aku ga coba lebih banyak baca textbook
tentang dental atau riset jurnal terbaru?”, “kenapa aku harus tidur lebih dari
8 jam sehari?”, “kenapa aku harus menikmati libur gak sengaja itu?”, “kenapa
aku harus menyisihkan waktu untuk nonton drama?”. Seharusnya aku lebih banyak
menyisihkan waktu untuk belajar, biar waktu ditanya dosen atau dalam diskusi, aku
bisa jawab dan ngerti kemana harusnya arah diskusi. Bukannya kayak sekarang, plangak plongok kek orang bingung alias gak ngerti. Dasar aku, suka nyesal
setelah kulewati.
Setelah akhirnya masuk koas lagi, ada hal-hal yang aku gak
suka, contohnya aku memaksakan diriku untuk tetap positive thinking ketika aku gagal di satu tahap sedangkan temanku
mulus aja. Ingin rasanya mengorek kesalahan si teman, mencari ketidaksempurnaannya,
atau menginginkan biar si teman gagal juga. Tapi, aku gak bisa kayak gitu.
Menjaga diriku tetap positive thinking
agar aku tetap waras adalah jalan ninjaku.
Aku juga penganut prinsip, “setiap ada kegagalan, pasti
didepan nanti pasti ada kesuksesan.” Karena itulah aku gak pernah mau mundur
meskipun gagal. Waktu di marahi karena salah atau gak bisa, aku yakin setiap
anak Koas di dunia ini punya jurus ampuh, begitu juga aku, “baik dokter,
terimakasih dokter” atau “mohon maaf dokter, akan saya pelajari lagi dokter”.
Bukannya terlalu semangat atau apa, tapi gimana ya bilangnya. Aku juga perlu selesain
sekolah, kalau aku setiap dimarahi jadi down,
mau berapa tahun aku sekolah ini. Semangat adalah jalan ninja.
Disamping itu semua, setiap abis dimarahi atau gak bisa
jawab waktu diskusi, aku juga sering tanya sama diri sendiri, “apa betul ini
jalanku?”, “apa dulu impianku gini?”, “apa ini jawaban atas doaku selama ini?”,
“apa aku pantas untuk cita-cita ini?”, dan “apakah aku pantas untuk gelar ini
dengan skill dan ilmu segini?”, setiap
muncul pertanyaan yang kayak gitu, pasti bawaannya tidur. Soalnya gak nemu
jawabannya dan sejauh-jauhnya pelarianku adalah tidur.
00.57 am, 24/01/2021
Apa setelah itu aku dendam? Setelah aku gali lebih jauh ke
dalam diriku. Gak sih. Soalnya kayak kubilang tadi, Allah udah buat jalan
masing-masing untuk hambanya. Dimarahi dosen? Heiii, ingat gak sih waktu SD
dulu, aku yakin guru kita pernah bilang, “ditegur atau dimarahi itu tanda sayang.”,
jadi aku anggap ditegur atau dimarahi dosen adalah tanda sayang mereka padaku.
Mereka menegurku ketika aku tidak cukup ilmu untuk menjawab pertanyaan mereka,
mereka memarahiku karena aku tidak cukup semangat untuk menghadapi pasienku.
Mereka sedang membentukku menjadi pribadi yang bukan hanya kuat secara keilmuan
tetapi juga mental.
Coba bayangkan, kalau aku gak pernah dibentak atau dimarahi,
tiba nanti jumpa pasien dan pasien membentakku, pasti gak kayak sekarang (yang
akunya biasa aja menanggapinya, gak terlalu sedih dan gak terlalu bawa
perasaan) dan pasti bakalan cengeng.
Jalan temanku yang mulus? Setelah merenung lebih jauh, itu
sama sekali gak masalah. Hidup ini kayak roda oke? Pernah di atas dan di bawah.
Aku juga pernah di keadaan ‘mulus’ dan temanku pernah juga di keadaan ‘kerikil’.
Jadi, mari kita menikmati yang sedang kita hadapi, meskipun sudah, tapi apa
salahnya mencoba kan ya?
Mencoba ikhlas. Aku akan gunain kata ‘mencoba’ hingga aku
benar-benar ikhlas. You know? Ikhlas
itu susah loh dalam praktiknya, meskipun secara teori mudah auntuk dipaparkan.
Tapi, kewajiban kita adalah ‘do our best’.
Oh ya, untuk sembuh itu proses. Bisa aja aku pura-pura untuk
menerima dihari itu, tapi bisa jadi aku mendendam ke depannya. Penerimaan juga
butuh proses, sama seperti sembuh.
No comments:
Post a Comment