Thursday, July 30, 2020

Ga balik kampung


Kenangan masa kecil adalah kenangan yang selalu membayangi seumur hidup. Aku bakalan flashback sedikit. Waktu aku kecil sampai umur 8 tahun, aku tinggal di kampung bareng nenek dan kakekku di rumah mereka.

Kenapa aku tinggal di kampung?

kenapa ga tinggal bareng orang tua?

berarti didikanmu beda ya?

eh, bukannya anak kecil itu bagusnya tinggal sama orang tua?

Ini adalah pertanyaan yang selalu ada setiap aku bilang kalau aku dulu waktu TK sampai kelas 3 SD di kampung. Jujur aja, aku mana tau jawabannya. Wong, waktu itu bedain selada sama sawi aja aku ga bisa, apalagi tau yang gini-an. Waktu kalian tanya dan aku jawab, “ga tau”, ini beneran ga tau ya, bukan bercanda ya.

Jarak kampungku sekitar 4- 5 jam dari Banda Aceh, kalau pakai mobil. Kalau naik motor, 4 jam sampai, bonus licin bannya. Mata pencaharian orang kampung disana beragam, tapi mayoritasnya adalah petani sawah, termasuk masyik (sebutan nenek) dan abusyik (sebutan kakek) juga. Mereka berdua bakalan ke sawah setelah subuh, setiap hari begini, yang aku lihat pada waktu itu, mereka sangat enjoy dengan pekerjaan mereka. Mereka berdua udah jadi petani dari masa mereka muda, sekitaran umur menjelang 20-an, mereka udah belajar cara mengurus sawah.

Aku versi kecil dulu, sangat enjoy dengan kehidupan yang aku jalani. Pagi, aku bakalan sarapan pakai nasi + telur ceplok + garam + sedikit minyak yang disuapin sama masyik-ku, abis itu lanjut dibonceng di atas sepeda oleh abusyik buat di antar ke sekolah. Sekolahnya ga jauh, mungkin jaraknya sekitar sekiloan dari rumah. Nanti jam 10 ( waktu TK dan kelas 1-2 SD) pulang, waktu kelas 3 SD ( aku pulang jam 1 siang), bakalan di jemput sama salah satu dari mereka. Aku dijemput gara-gara aku ga bisa nyebrang jalan. Waktu kelas 3 aku udah mulai diberaniin untuk pulang sendiri, walaupun aku pulangnya ke keude kopi punya bundaku (adik mamaku).

Semanis itu kampung untukku. Ketika kelas 4 SD, aku pindah ke Banda Aceh dan kehidupan disini cukup berbeda dengan yang aku rasakan disana. Kehidupan disini secara ga sadar merubahku sedikit demi sedikit. Contohnya, dulu aku ngomong Bahasa Aceh itu medok banget, tapi sekarang aku ngomong hancur banget dan aku kurang suka dialekku ngomong Bahasa Aceh yang sekarang. Waktu merubahku, ya memang, tapi aku suka lidahku yang dulu.

Waktu berlalu kayak panah emang, cepat banget. 12 tahun udah berlalu, banyak hal yang berubah. Ketika libur atau ketika tiba waktunya cuti lebaran, aku jadi malas untuk beres-beres baju, bawa badanku ke mobil, susah untuk nikmati udara segar di jalan, ga merasa wow ketika tiba di kampung dan mau balik ke sini secepatnya. Aku mencoba lebih melihat ke dalam diriku dan aku bertanya, “ada apa denganku?”

Kampung yang sekarang di mataku cukup berbeda dengan kenangan yang tersimpan di dalam otakku. Di sana aku ga lagi menemukan mereka-mereka yang dulunya bermain denganku, mereka yang mengomeliku, mereka yang akan memanggilku untuk sekadar menawari untuk mencicip masakan mereka, mereka yang akan merubah nama panggilanku sehingga aku kesal, mereka yang menarik pipiku, ataupun mereka yang sekedar menganggu. Di sana aku akan berjumpa dengan versi mereka yang sudah semakin renta atau peristirahatan terakhir yang membuatku sadar kalau dunia ini bertambah tua dan berubah.

Di sana mereka juga ga memandangku dengan pandangan yang sama lagi. Mereka udah menganggapku lebih dari mereka. Lebih pintar, lebih berwibawa, ataupun lebih kritis. Faktanya, aku ga mau dilihat kayak begitu.

Rumah yang dulunya tempatku tidur, makan, atau mengaji jika malam hari, sekarang udah ga ada lagi. Rumah nenekku hanya tinggal versi kecilnya. Angin besar merobohnya dan nenekku ga mau buat lagi. Sebenarnya, aku maunya nenekku tetap mau renovasi, kalau bisa persis kaya rumah dulu. Biar memorinya itu dapat.

Walaupun rumah yang sekarang ga kaya dulu lagi, tapi aku bisa ingat detail dimana aku menyimpan bukuku, dimana aku akan duduk waktu makan, dimana letak tangga yang bikin aku jatuh sampai kakiku patah kedua kalinya, dimana ruang tamu tempat aku duduk mengaji yang disampingku juga duduk kakekku untuk mengajariku, dimana aku akan memasang kelambu di malam hari biar ga digigit nyamuk, dimana letak kasurku yang kalau ditiduri dari celah dinding bisa melihat bintang, dimana tempat nenekku menggantung ringkan (semacam wadah yang dianyam dari daun pandan kemudian dipasang tali untuk digantung) agar ikan ga dimakan kucing.

Aku juga ingat kalau udah sore menjelang maghrib, abusyik-ku pulang dengan didudukan belakang sepedanya diikat satu karung rumput atau batang pisang yang udah dipotong-potong. Lalu, aku akan mengekori beliau ke kandang lembu untuk kasih makan para lembu kesayangan abusyik-ku itu dan bakar sampah biar lembunya ga digigit nyamuk. Sekarang? Ini tinggal memori bro, lembu beserta kandangnya sekarang udah ga ada lagi.

Kampung yang sekarang adalah versi upgrade yang mutakhir. Modern, tpi bukan modern juga, bisa dibilang kayak telor setengah matang. Peradabannya bukan kayak kampung lagi, tapi kalau dibilang kayak kota, bukan juga. Apa yang kuceritakan di atas ga ada lagi. Hilang, lenyap, di makan masa.. Aku ga mendapatkan esensi lagi ketika ke sana. Sepeda? masih. Masih ada, tapi yang pakainya ya orang-orang tua, kalau anak mudanya itu bakalan naik motor yang suara knalpotnya suka bikin emosi itu. Rumah panggung khas Aceh? Ada, tapi cuma sedikit, jumlahnya bisa dihitung pakai jari. Orang-orang sekarang itu demam pingin punya rumah beton, di sana mereka menganggap kalau rumah panggung itu ketinggalan zaman walaupun harga kayu sekarang itu bisa buat dompet menjerit. Terlepas dari itu, menurutku nih ya, rumah panggung itu swag banget dan estetik.

Orang perempuan yang pakai sarung dan jilbab lebar khas orang Aceh? Ada masih, tapi orang sana lebih merasa keren pakai rok, merasa lebih kota. Baju kurung? Udah lenyap bro, sekarang orang-orang suka pakai kemeja atau baju dengan desain paling baru keluar biar kelihatan trendi kayak anak kota. Aku merasa seperti kehilangan jati diri. Kita melakukan sesuatu dan kita lupa mencari tahu atas arti apa yang kita lakukan.

Lalu, ketika aku ajak teman-teman mainku dulu untuk sekedar ngomong atau share our story, mereka canggung dan akupun jadinya ikut canggung. Mereka udah ga nyaman lagi denganku, mereka udah memiliki lingkungan yang ga ada aku didalamnya. Jadi, ketika aku pulang yang notabene-nya setahun dua kali, secara ga langsung dalam benak mereka, “apa ni anak? tiba-tiba gabung abistu ngomong sampe lupa titik.”

Kampung itu kenangan buatku. Kenangan manis. Aku melihat kampung halamanku, masih dalam bentuk ketika aku kecil. Aku ga mau melihat kampung versi yang sekarang. Aku maunya kampung itu tetap bagus dimataku. Aku ga mau dalam ingatanku tersimpan “kampung itu tempat ga enak dan canggung.” Jadi, aku pikir ga balik kampung adalah pilihan yang ga salah.

Lalu, aku punya pertanyaan. Jika kalian awalnya hidup di kampung, berapa kali dalam tahun ini kalian sudah pulang kampung? kalau kalian ga pulang kampung, alasannya apa? Pernah ga sih kalian tanya ini ke diri kalian. Aku berharap setiap dari kalian memiliki alasan masing-masing.

Wednesday, July 29, 2020

[Poetry] Berebut Tempat


Dia sedang berkata-kata didepanku
Mataku menatap dalam ke arah mulutnya
Menelaah apa saja yang keluar dari sana
Hampir seluruhnya keluhan

Mataku kini berpindah ke biji matanya
Menatap dalam mencoba menelaah
Linglung terasa demikian kentara
Mengingat ku pada diriku

Waktu itu, aku membiarkan diriku tenggelam dalam sekitar
Menggali keadaan untuk mengobati jiwa
Dan kudapat, yaitu

Bumi berjalan di jalannya
Dia tak pernah ingin mendahului Venus
Ataupun mengejar Mars
Dia tetap dengan kecepatannya, tak peduli apapun

Sama halnya bintang,
Dia muncul di tempatnya
Tak pernah memiliki niat berebut tempat dengan bulan
Apalagi matahari

Friday, July 24, 2020

Naik Boat Pertama Kali

Bulan ini genap setahun pasca aku KKN. Ga nyangka ya udah setahun aja. Aku KKN di desa Curee Tunong, kecamatan Simpang Mamplam, Bireun. Desa tempat aku KKN ini dekat laut, bukan dekat lagi emang tetanggaan sama laut. Jalan ga sampai 5 menit langsung laut, kalau sore bisa lihat sunset, walaupun semenjak aku disana, selalu ketutup awan.


Kelompokku beranggotakan 6 orang, semuanya beda jurusan dan beda karakter. Waktu awal lihat pengumuman kelompok. Aku kesal, tapi ga tau mau lampiasin ke siapa. Coba kalian bayangin aja, aku itu dapat kabupaten yang beda banget sama teman-temanku yang lain, udah itu aku nyari kampungnya di maps itu jauh banget dari ibukota bireun loh, tambah badmood akunya. Soalnya aku dan teman-temanku usahain untuk sekalian isi pendaftarannya, tapi aku dapatnya kebanting jauh, siapa coba yang ga badmood kalau diposisiku?

Pulang ke rumah, aku kasih tau ke orang tuaku, dan tanggapan mereka, kayak biasa. Santai kayak dipantai dan bilang kalau kampung itu dekat sama rumah sepupu masyik-ku (panggilan untuk nenekku). Jadi aku ga usah terlalu panik. Setelah aku ingat-ingat, ternyata iya. Oke, satu masalah selesai, aku ga merasa terasingkan lagi. Seengaknya kalau ada apa-apa, aku udah tau lari kemana.

Tibalah waktunya perkenalan (aku lupa namanya), jadi seluruh mahasiswa yang ikut KKN periode itu (aku lupa aku periode berapa) disuruh kumpul di Gedung AAC Dayan Dawood. Coba bayangin lebih dari 1500 mahasiswa ngumpul di satu Gedung, gila emang kaya demo waktu itu, di sini nih kepalaku rasanya mau pecah, puyeng banget. Tetiba tekanan intrakranial kepalaku meningkat drastis. Berdesakan. badmood. kesal. Semualah bercampur udah.

Perkenalan ini ada 2 hari, di hari kedua aku jumpa sama anggota kelompokku. Di hari itu aku telat datang, karena aku lagi sibuk buat siapin keperluan besok seminar proposal. Walaupun telat, akhirnya aku jumpa sama mereka. Kesan pertama lihat mereka, mereka semua pendiam. Emang iya, pendiam banget. Masa mereka waktu itu berdiri kayak orang marahan, jauh jauh banget bro jaraknya. Akhirnya datanglah aku pada waktu itu yang ga tau malu (mungkin jika keadaan berbeda aku akan malu-malu, tapi berhubung aku buru-buru jadi ga sempat malu-malu), ajak mereka bergabung menjadi satu kelompok dan tanya nama mereka masing-masing. Walaupun setelah pulang dari situ, aku lupa. Aku ga lama-lama untuk kenalan sama mereka, karena aku harus balik lagi ke kampus untuk urus ruangan seminar proposal besok.

Seminggu setelah perkenalan itu, kami berangkat ke curee tunong untuk survey lapangan. Perjalanan ke sana cuma 6 jam pakai mobil, sepanjang perjalanan tebak aja apa yang kulakuin. Tidur. Mantap memang, baru kenal langsung tidur sepanjang perjalanan. Ga ada takut-takutnya. Malam sebelum berangkat, aku revisi pasca seminar proposal biar kepalaku waktu survey lebih plong, jadinya plong benar sampai tidur plong. Sejujurnya, pertama kenalan sama mereka aku udah yakin aja kalau mereka baik-baik orangnya ( ya yakin aja, ga pakai alasan) dan secara ga sadar aku udah mendogma diriku untuk menerima mereka kaya teman dekat karena aku bakalan tinggal di kampung nan jauh disana bareng mereka.

Untuk bisa sampai di kampung itu, aku sangat berterimakasih kepada bantuan Maps dan ketua kelompokku yang asik teleponan sama pak keuchik-nya buat nanya letak kampungnya secara spesifik. Jam 12 siang lewat sikit tibalah kami di meunasah gampong curee tunong. 2 jam ngomong-ngomong sama perangkat kampungnya, abis itu kami di bawa minum kopi di keude dekat pantai. Berhubung waktu kami pergi itu masih siang, mataharinya itu subhanallah panasnya, jadi ga ada satupun dari kami yang mau lihat-lihat lautnya. Bisa ngucur keringat dari ubun-ubun bro. Setelah itu, kami sekelompok di bawa Pak Keuchik ke rumah yang bakal kami tinggali selama di sana, rumah tetua desa yang cukup dihormati disana, aku mau ucapin terimakasih banyak karena udah menerima kami dan have fun bareng kami selama disana.

Aku ga bakal menceritakan full story dari hari pertama sampai hari terakhir aku tinggal disana, di sini aku mau me-review satu hari yang bersejarah dalam hidupku dan salah satu hari yang mengesankan selama KKN.

Jadi, selama disana aku punya rutinitas untuk lihat para nelayan disana tolak boat bareng-bareng di sore hari siap ashar untuk berlayar semalaman dan baliknya baru besok subuh. Pertama kali lihatnya, tercengang sih, boat itu berat banget bro, mereka ber-8 atau belasan orang bakalan sama-sama dorong boat ke arah air dengan ikutin satu komando.

“tolak!!” satu orang yang teriak, lainnya lakuin serentak.

Beberapa subuh aku juga ikut ke keude mak (orang kampung sana panggilnya ‘Kak dar’) yang punya rumah untuk jualan sekaligus lihat suasana pantai kalau lagi subuh. Asli rame banget. Serasa hidup. Tawar menawar harga ikan. Saling lempar lelucon. Nelayan yang narik boat ke arah pantai untuk parkir. Anak-anak saling berlari sambil menghindari kotoran lembu. Lembu yang staycool duduk di atas pasir. Mobil terbuka belakang yang menunggu dipindahkan ikan ke dalam mobil untuk dibawa ke toke yang lebih besar. Aku melihat hal ini sebagai hal baru, hal yang membuatku berpikir kalau dunia ini indah banget hanya dengan diam sambil nyemilin gorengan mak dan perhatiin sekitar.

Aku di keude-nya mak sebenarnya cuma numpang duduk dan makan, sekalian kalau ada yang sapa aku, ya aku balik sapa. Seru dan adem serta kepalaku plong. Bebas dari penatnya susun skripsi. Nah, di minggu terakhir KKN, orang rumah tempat aku tinggal menawarkan untuk naik boat, karena di kampung itu memang mayoritasnya adalah nelayan. Mungkin saja orang rumah tempat kami tinggal menawarkan kami untuk naik boat karena melihat kenorakan kami kalau lagi perhatiin boat.

Jangan pernah bayangin kalau aku bakalan malu-malu menerima, karena aku langsung terima tanpa malu. Aku merasa ini adalah kesempatan yang datang sekali seumur hidup, bisa jadi suatu saat ada lagi tapi kan belum pasti. Kesempatan itu harus digunakan sebaik mungkin dan aku merasa kalau aku menggunakan dengan baik.

Awalnya, anggota kelompokku ada yang ga mau ikut naik, tapi setelah dipaksa-paksa ya dia menyerah juga. Kami coba boat itu setelah nelayan pulang berlayar, di pagi hari sebelum boat-nya di parkir, ya di timing itu kami naik.

Hari itu aku pakai baju kaos biru dan celana kulot yang lebarnya subhanalllah, asli lebar banget sih, gara-gara kulot itu susah banget waktu naik boat-nya. Soalnya dindingnya (aku gatau istilah yang benarnya apa) itu hampir sepinggangku tingginya, jadi emang butuh kerja keras waktu naiknya. Gara-gara aku terlalu excited, waktu itu aku ga terlalu menganggap itu susah.


Setelah naik, si abang yang bertugas kendarain hidupin boat, dan cusss kami jalan sepanjang garis pantai kampung KKN-ku dan kampung-kampung tetangganya. Aku coba pegang air lautnya, ga panas, sejuk airnya, ucapan yang pernah kudengar yang bilang kalo air di tengah laut itu panas terpatahkan gara-gara aku udah pegang sendiri. Aku juga bisa lihat ikan-ikan, bukan paus atau hiu, cuma ikan-ikan kecil yang renang cantik kok.

Jadi waktu udah sampai ke ujung garis pantai kampung tetangga, aku nampak ditengah laut kayak ada rumah, dalam pikiranku ‘keren juga ya orang kampung sini bisa bangun rumah tengah laut.’

“Bang, keren ya ada rumah tuh tengah laut!” aku bilang ke si abang yang lagi supirin boat. Ketawa dia. aku pikir kenapalah dia. Apa pula kan ya yang lucu.

“Sampah itu.” jawabnya. What!!!!

“Yang benar bang?” masih ga percaya. Karena kan dari gambar-gambar di media nampak-in laut itu indah, tempat wisata idamanlah. Khususnya gambar laut aceh ya, soalnya aceh ini terkenal sama pantainya yang keren. Eh ternyata, kenapa fakta dilapangannya begini bro, terkejutlah aku.

“Kalau ga percaya, ayo ke sana.” segera si abang arahin boat ke tempat berada sampah bentuk rumah itu. Ini aku ngomong sama si abang dalam Bahasa aceh ya, kalau aku tulis percakapannya dalam Bahasa aceh nanti aku harus tulis terjemahan juga. Jadi, aku cuma menghemat aja.

Pembuktian si abang benar. Itu memang sampah bro yang udah menumpuk di tengah laut. Aku rasa mabok parah sih para bangsa ikan yang lagi renang cantik. Ranting, batang pohon, kantong plastik, popok bayi mengambang-ngambang di tengah laut. Aku terpesona gituloh lihatnya, hal baru buatku. Ini lebih mengejutkan dari kejutan ulang tahun. Malangnya, aku ga foto, karena waktu itu aku masih pakai tablet jadi aku ga bawa tablet ikut naik boat, takut telempar ke laut sih alasannya.

Dari pemandangan indah yang aku lihat tadi, aku udah tau alasan kenapa dulu Menteri Susi marah-marah gara sampah atau brand-brand kosmetik yang mengiklankan untuk kasih balik botol yang udah abis ke tokonya abis itu dapat poin. Terimakasih untuk fakta yang terpampang di depan mata, karena itu menjadi pembuktian.

Setelah dari rumah bohongan ini, kami di bawa lebih ke tengah laut tepatnya gatek dimana air lautnya udah lebih gelap alias lebih dalam lautnya. Gatek itu adalah tempat nginap para nelayan waktu malam hari saat mereka berlayar, gatek itu 2 kapal besar di gabungin dan ada layarnya. Aku ga bisa bayangin kalau misalnya aku dikejutin abis itu reflek loncat. Astagfirullah, kayanya sekarang tinggal nama.

Waktu naik ke gatek dari boat, asli goyang parah. Awalnya, aku mau jatuh ke laut kalau ga dipegangin kaki sama si abang boat. Thanks si abang karenamu aku ga perlu ketemu hiu. Naik ke atas gatek itu bertambah intensitas goyangnya, aku jalan aja perlu pegangan, kepalaku pusing, mual-mual tapi ga bisa muntah. Untuk take foto aja perlu pegangan, berarti para nelayan itu emang kuat banget sih. Setelah beberapa waktu kami di atas gatek, kami kembali turun dan balik ke pantai.

Pengalaman ini pertama untukku dan ini juga membuka pikiranku. Aku yang menganggap bahwa media menyuguhkan yang sebenarnya, setelah naik boat ini aku sadar kalau ada beberapa hal yang tidak disuguhkan atau disuguhkan dengan cara ‘berbeda’, sehingga bagi orang-orang yang belum ‘tertampar’ akan kenyataan menjadi percaya begitu saja. Aku tau bireun ini adalah salah satu kabupaten besar di Aceh dan curee tunong adalah satu dari sekian kampung di kabupaten ini yang memiliki ‘rumah bohongan’ dan mungkin ‘rumah bohongan’ bisa menjadi pertimbangan untuk peningkatan pembangunan, apakah mau dibiarkan begitu saja hingga bertahun-tahun ke depan atau dibuatkan program yang sedemikian rupa agar 'rumah bohongan' ini lenyap dari muka bumi, ini adalah pilihan dari bireun sendiri.

 


Wednesday, July 22, 2020

[Poetry] Beliau

 
Saat itu adalah waktu terjungkir kehidupanku
Beliau datang sebelum mulai
Semangat menyaksikan ku dipanggilkan nilai
Satu per satu yang lain juga datang

Beliau memilih tempat duduk di paling ujung
Tidak bergabung dengan yang lain
Sesekali menatap kearahku
Sesekali membuka-buka ponselnya

Saat itu, teman-temanku mengajakku bicara
Jujur saja telingaku tak mendengar satupun
Pikiran dan hatiku hanya menuju beliau di ujung sana
Ingin rasanya aku bisa duduk disamping beliau, lalu berbincang tentang apapun

Sesekali beliau membuka ponsel tanpa kamera belakang itu
Terenyuh hatiku melihatnya
Aku dengan tidak tahu diri memakai keluaran terbaru
Sungguh semesta sedang menertawakanku

Saat itu beliau memakai lengan panjang
Sesuai permintaanku
Yang ku tahu persis beliau benci itu
Saat itu bagaikan semesta terbahak akan ketidaktahuan diriku

Saat beliau dipanggil kedepan untuk berdiri di sisiku
Di wajah itu kulihat bahagia dan khawatir
Bahagia dapat melihatku berdiri di baris paling depan
Khawatir karena tak sama dengan yang lain

 
Saat itu rasanya aku bisa melihat dunia perlahan runtuh didepanku
Beliau yang mendukungku seharusnya tak pantas mendapat khawatir
Seharusnya beliau hanya punya bahagia
Aku malu pada beliau dan pada-Nya

Demi waktu itu
Aku sungguh malu pada keadaan
Keegoisanku melingkupi dengan sempurna
Keinginan untuk menyamai yang lain mengerayangiku

Seharusnya aku menyadari lebih awal
Aku tidak perlu menyamai siapapun
Karena,
Beliau adalah ayahku, yang mencintaiku tanpa pamrih sedikitpun, yang menerimaku di keadaan terpuruk sekalipun

Wednesday, July 15, 2020

Bye-Bye Trip Seru



Waktu break siap yudisium kemarin itu, aku bersama gang-ku tiba-tiba punya ide untuk trip ke bireun, kecamatan kami KKN dulu. Trip-nya bukan pake mobil, tapi mau coba bawa motor ke sana. Sebenarnya, aku ga bisa bayangin gimana kebasnya bokongku duduk selama 6 jam di atas motor, tapi aku yakin kalo trip ini jadi pasti seru abis!

Masalahnya, aku ga yakin akan dikasih izin atau ga sama orang tuaku, trip ini berisiko. Aku perempuan dan bakalan trip bareng perempuan juga dan satu-satunya yang pernah berkendara jarak jauh sendirian itu cuma aku (mungkin orang ini udah juga, cuma aku aja ga tau. Wkwkwkwk). Secara ga langsung, aku jadi penunjuk (sori, tingkat kepedeanku memang semeningkat itu). Di jalanan nantinya juga ga tau bakalan ada apa aja. Jujur aja, kalo betulan dikasih izin aku betulan excited untuk ini!

Sekarang ini aku lagi mikir strategi yang cocok saat minta izin sehingga bisa dikasih izin ikut trip. Ya Allah, tolong hamba, bolak-balik lah hati orang tua hamba agar diizinkan untuk ikut trip ini. Aamiin (kalian yang baca ini, tolong aamiin-kan juga ya).

***

Akhirnya, orang tuaku ga mengizinkan. Setelah sekian perjuangan yang kulakukan untuk perizinan, orang tuaku tetap tidak mengubah keputusan mereka. Mereka tetap tidak mengizinkan.

“Mak, tolong kasih izin. Kakak udah stress hidup di sini, otak kakak rasanya mau pecah.” Kataku dengan raut muka kusedih-sedihkann.

“Ga. Sekali ga ya ga.” Jawab Mak-ku.

Aku ga terima dong ya. Aku merasa diriku ini udah dewasa, jadi boleh dong pergi-pergi. Percobaan 1 gagal.

Aku baru siap yudisium beberapa hari sebelum tragedi ini. Jadi mak-nya gang-ku nanya ke mak-ku. “Buk, ga ikut ke bireun dianya?” sebenarnya pertanyaan ini bikin aku takut. Takut mak-ku bakalan merepet disitu.

“Ga buk. Ga ikut dianya.” Mak-ku jawab. Percobaan 2 gagal.

Pulang yudisium. Aku berusaha lagi untuk minta lagi Mak-ku. Oh god, mak-ku tetap ga kasih. Kesal sih iya, tapi ya gimana ya. Aku tahu kalo segala sesuatu yang ga dikasih sama orang tua itu, pasti orang tua kita udah menilai baik dan buruknya, mungkin saja banyak buruknya. Percobaan 3 gagal.

Oke, I am done. Selamat tinggal buat trip seru ke bireun!

 

 


Monday, July 13, 2020

Untuk Miss Optimistic



        Oke, kali ini aku mau certain tentang temanku yang bisa dibilang dia ini beda banget. Dia ini punya sifat optimis dan positive thinking yang benar-benar baik menjurus ke over, tapi kadang sering buat orang lain geram sama sifat dia yang satu ini, termasuk salah satunya aku.

Kalo orang lain lihat mungkin dia itu keras kepala, tapi kalo kamu udah kenal sama dia, sebenarnya dia itu cuma bungkusannya aja “keras kepala”. Sifat optimis dan positive thinking yang dibungkus sama “keras kepala”-nya dia.

Pertamanya aku itu ga dekat sama dia, aku itu ga mudah untuk dekat sama siapapun. Aku sama dia bisa dekat karena kami bertemu di-satu projek yang mengharuskan kami selalu bersama dan bertukar pikiran 24 jam selama beberapa bulan sampai projek itu berhasil.

Projek ini betulan ga mudah, selain mengolah fisik juga mengolah emosional. Udah capek, makan hati lagi. Selama projek ini berjalan, aku sama dia kaya kembar siam yang kemana-mana berdua, untung ga saling bagi sedotan berdua. Sebenarnya makan hatinya itu lebih ke aku menghadapi dia-nya. Aku ini ga terlalu peduli sama masalah orang lain atau masalah yang ditimbulkan oleh orang lain kalo ga ada menyinggung diriku, tapi kalo udah menyinggungku maka InsyaAllah aku akan kesal dan sangat keberatan walaupun ga bertindak.

Dia dan aku ini hampir mirip yaitu sama-sama ga peka kalo kata teman-temanku yang lain. Dia ini kadang sering bilang “kamu jangan capek, biar kami aja berdarah-darah” saat kami kerjain projek kami dulu. Kami yang dimaksud dia itu “dia sendiri”.

Sungguh, 1000 persen aku kesal banget kalo dia udah mulai ngoceh ini, rasanya saat itu aku mau sumpal mulutnya saking kesalnya. Rasanya aku mau jawab, “Kalo kamu yang berdarah-darah, jadi untuk apa aku disini dipasangkan sama kamu? Buat tidur sambil ngorok aja?” aku pitam ditambah kesal banget waktu itu, dan aku patut bangga sama diriku yang cukup baik dalam mengontrol diri untuk ga meledak-ledak didepan dia.

Jujur, kalo dia udah mulai ngulang kata-kata itu, aku merasa kaya orang kena sawan, tapi aku jamin seribu persen dia ga sadar kalo aku kesal sama dia.

Dia ini baik, malah udah tahap sangat baik. Dia ini orangnya bisa dibilang sabar. Sabar dalam menghadapi kekejaman hidup di kampus kami ini dan sabar dalam menghadapi tugas-tugas yang bisa koma, yang penting sabar. Kalo dibandingin aku sama dia, maka aku ga ada apa-apanya sama dia.

Tapi, walaupun gitu, aku suka kok berteman sama dia, orang yang ga pilih-pilih, selo aja, dan juga mengajarkan untuk selalu positive thinking dan optimis. Oh ya, kalau kamu dekat sama dia, dia bakalan kasih kamu hal yang ga akan kamu dapatkan dari teman lain.

Mau tahu? Tenang bro, bakalan aku kasih tau. Dia bakalan ajarin kamu untuk lihat suatu masalah dari sudut pandang yang beda, sudut pandang yang benar-benar membuat kamu ga sempat berpikir untuk maki orang yang masalah tersebut.

Contohnya, ada seorang teman kamu yang kalo ngomong itu nyelekit gila dan hobi banget buat masalah sama siapapun dan kena imbasnya ke kamu. Maka, si dia ini bakalan minta kamu atau lebih ke ajarin kamu untuk mikir “mungkin si teman itu hanya salah ngomong dan ga sengaja, mungkin si teman itu cuma niat bercanda aja eh tapinya orang pikir cari gara-gara, sabar.” Begitulah kira-kira.

Dia ini juga tetap pendirian dan bakalan mengwujudkan pendirian itu. Ini sebenarnya bikin kesal, dia ini ga bisa kita larang orangnya, jadi ya ga ada cara lain, selain biarin aja. Nanti kalo udah sakit, maka dia bakalan berhenti sendiri. Kadang-kadang kita cukup butuh energi untuk menyadarkan dia kalo pendiriannya itu salah, butuh teori-teori yang mendukung untuk jelasan ke dia, serta butuh banyak energi untuk otot mulut biar ga cepat capek ngoceh ke dia.

Dia ini juga rapuh, hatinya lembut banget. Bakalan nangis kalo kita bentak sekali aja atau nada bicara kita agak naik nadanya, dipastikan mata dia udah langsung merah dan jadinya kita sendiri yang merasa bersalah. Dia ini ga bakalan nangis didepan orang yang membentaknya, harga dirinya tinggi banget, lebih tinggi dari burj khalifa, dia itu bakalan nangis nanti dikamarnya atau waktu orang yang bentak dia pergi.

Aku itu ga suka orang cengeng ataupun orang nangis, jadi kalo dia udah mulai melankonis, maka ini sangat memusingkan untuk aku sendiri. Mau suruh diam, ga mungkin. Sumpal mulutnya, itu terlalu kejam. Jadi aku pasti bakalan nasehatin dia dengan kata-kata motivasi dari buku-buku yang kubaca.

Begitulah cerita tentang dia, kalo kita cerita lagi, maka ga ada habis-habisnya. Dia ini seru pokoknya. Terimakasih juga untuk dia yang sudah tahan dengan diriku yang masih penuh dengan kekurangan dan semoga dia ga baca tulisan ini serta kalo dia baca, semoga dia ga sadar aku lagi cerita tentang dia.