Thursday, July 30, 2020

Ga balik kampung


Kenangan masa kecil adalah kenangan yang selalu membayangi seumur hidup. Aku bakalan flashback sedikit. Waktu aku kecil sampai umur 8 tahun, aku tinggal di kampung bareng nenek dan kakekku di rumah mereka.

Kenapa aku tinggal di kampung?

kenapa ga tinggal bareng orang tua?

berarti didikanmu beda ya?

eh, bukannya anak kecil itu bagusnya tinggal sama orang tua?

Ini adalah pertanyaan yang selalu ada setiap aku bilang kalau aku dulu waktu TK sampai kelas 3 SD di kampung. Jujur aja, aku mana tau jawabannya. Wong, waktu itu bedain selada sama sawi aja aku ga bisa, apalagi tau yang gini-an. Waktu kalian tanya dan aku jawab, “ga tau”, ini beneran ga tau ya, bukan bercanda ya.

Jarak kampungku sekitar 4- 5 jam dari Banda Aceh, kalau pakai mobil. Kalau naik motor, 4 jam sampai, bonus licin bannya. Mata pencaharian orang kampung disana beragam, tapi mayoritasnya adalah petani sawah, termasuk masyik (sebutan nenek) dan abusyik (sebutan kakek) juga. Mereka berdua bakalan ke sawah setelah subuh, setiap hari begini, yang aku lihat pada waktu itu, mereka sangat enjoy dengan pekerjaan mereka. Mereka berdua udah jadi petani dari masa mereka muda, sekitaran umur menjelang 20-an, mereka udah belajar cara mengurus sawah.

Aku versi kecil dulu, sangat enjoy dengan kehidupan yang aku jalani. Pagi, aku bakalan sarapan pakai nasi + telur ceplok + garam + sedikit minyak yang disuapin sama masyik-ku, abis itu lanjut dibonceng di atas sepeda oleh abusyik buat di antar ke sekolah. Sekolahnya ga jauh, mungkin jaraknya sekitar sekiloan dari rumah. Nanti jam 10 ( waktu TK dan kelas 1-2 SD) pulang, waktu kelas 3 SD ( aku pulang jam 1 siang), bakalan di jemput sama salah satu dari mereka. Aku dijemput gara-gara aku ga bisa nyebrang jalan. Waktu kelas 3 aku udah mulai diberaniin untuk pulang sendiri, walaupun aku pulangnya ke keude kopi punya bundaku (adik mamaku).

Semanis itu kampung untukku. Ketika kelas 4 SD, aku pindah ke Banda Aceh dan kehidupan disini cukup berbeda dengan yang aku rasakan disana. Kehidupan disini secara ga sadar merubahku sedikit demi sedikit. Contohnya, dulu aku ngomong Bahasa Aceh itu medok banget, tapi sekarang aku ngomong hancur banget dan aku kurang suka dialekku ngomong Bahasa Aceh yang sekarang. Waktu merubahku, ya memang, tapi aku suka lidahku yang dulu.

Waktu berlalu kayak panah emang, cepat banget. 12 tahun udah berlalu, banyak hal yang berubah. Ketika libur atau ketika tiba waktunya cuti lebaran, aku jadi malas untuk beres-beres baju, bawa badanku ke mobil, susah untuk nikmati udara segar di jalan, ga merasa wow ketika tiba di kampung dan mau balik ke sini secepatnya. Aku mencoba lebih melihat ke dalam diriku dan aku bertanya, “ada apa denganku?”

Kampung yang sekarang di mataku cukup berbeda dengan kenangan yang tersimpan di dalam otakku. Di sana aku ga lagi menemukan mereka-mereka yang dulunya bermain denganku, mereka yang mengomeliku, mereka yang akan memanggilku untuk sekadar menawari untuk mencicip masakan mereka, mereka yang akan merubah nama panggilanku sehingga aku kesal, mereka yang menarik pipiku, ataupun mereka yang sekedar menganggu. Di sana aku akan berjumpa dengan versi mereka yang sudah semakin renta atau peristirahatan terakhir yang membuatku sadar kalau dunia ini bertambah tua dan berubah.

Di sana mereka juga ga memandangku dengan pandangan yang sama lagi. Mereka udah menganggapku lebih dari mereka. Lebih pintar, lebih berwibawa, ataupun lebih kritis. Faktanya, aku ga mau dilihat kayak begitu.

Rumah yang dulunya tempatku tidur, makan, atau mengaji jika malam hari, sekarang udah ga ada lagi. Rumah nenekku hanya tinggal versi kecilnya. Angin besar merobohnya dan nenekku ga mau buat lagi. Sebenarnya, aku maunya nenekku tetap mau renovasi, kalau bisa persis kaya rumah dulu. Biar memorinya itu dapat.

Walaupun rumah yang sekarang ga kaya dulu lagi, tapi aku bisa ingat detail dimana aku menyimpan bukuku, dimana aku akan duduk waktu makan, dimana letak tangga yang bikin aku jatuh sampai kakiku patah kedua kalinya, dimana ruang tamu tempat aku duduk mengaji yang disampingku juga duduk kakekku untuk mengajariku, dimana aku akan memasang kelambu di malam hari biar ga digigit nyamuk, dimana letak kasurku yang kalau ditiduri dari celah dinding bisa melihat bintang, dimana tempat nenekku menggantung ringkan (semacam wadah yang dianyam dari daun pandan kemudian dipasang tali untuk digantung) agar ikan ga dimakan kucing.

Aku juga ingat kalau udah sore menjelang maghrib, abusyik-ku pulang dengan didudukan belakang sepedanya diikat satu karung rumput atau batang pisang yang udah dipotong-potong. Lalu, aku akan mengekori beliau ke kandang lembu untuk kasih makan para lembu kesayangan abusyik-ku itu dan bakar sampah biar lembunya ga digigit nyamuk. Sekarang? Ini tinggal memori bro, lembu beserta kandangnya sekarang udah ga ada lagi.

Kampung yang sekarang adalah versi upgrade yang mutakhir. Modern, tpi bukan modern juga, bisa dibilang kayak telor setengah matang. Peradabannya bukan kayak kampung lagi, tapi kalau dibilang kayak kota, bukan juga. Apa yang kuceritakan di atas ga ada lagi. Hilang, lenyap, di makan masa.. Aku ga mendapatkan esensi lagi ketika ke sana. Sepeda? masih. Masih ada, tapi yang pakainya ya orang-orang tua, kalau anak mudanya itu bakalan naik motor yang suara knalpotnya suka bikin emosi itu. Rumah panggung khas Aceh? Ada, tapi cuma sedikit, jumlahnya bisa dihitung pakai jari. Orang-orang sekarang itu demam pingin punya rumah beton, di sana mereka menganggap kalau rumah panggung itu ketinggalan zaman walaupun harga kayu sekarang itu bisa buat dompet menjerit. Terlepas dari itu, menurutku nih ya, rumah panggung itu swag banget dan estetik.

Orang perempuan yang pakai sarung dan jilbab lebar khas orang Aceh? Ada masih, tapi orang sana lebih merasa keren pakai rok, merasa lebih kota. Baju kurung? Udah lenyap bro, sekarang orang-orang suka pakai kemeja atau baju dengan desain paling baru keluar biar kelihatan trendi kayak anak kota. Aku merasa seperti kehilangan jati diri. Kita melakukan sesuatu dan kita lupa mencari tahu atas arti apa yang kita lakukan.

Lalu, ketika aku ajak teman-teman mainku dulu untuk sekedar ngomong atau share our story, mereka canggung dan akupun jadinya ikut canggung. Mereka udah ga nyaman lagi denganku, mereka udah memiliki lingkungan yang ga ada aku didalamnya. Jadi, ketika aku pulang yang notabene-nya setahun dua kali, secara ga langsung dalam benak mereka, “apa ni anak? tiba-tiba gabung abistu ngomong sampe lupa titik.”

Kampung itu kenangan buatku. Kenangan manis. Aku melihat kampung halamanku, masih dalam bentuk ketika aku kecil. Aku ga mau melihat kampung versi yang sekarang. Aku maunya kampung itu tetap bagus dimataku. Aku ga mau dalam ingatanku tersimpan “kampung itu tempat ga enak dan canggung.” Jadi, aku pikir ga balik kampung adalah pilihan yang ga salah.

Lalu, aku punya pertanyaan. Jika kalian awalnya hidup di kampung, berapa kali dalam tahun ini kalian sudah pulang kampung? kalau kalian ga pulang kampung, alasannya apa? Pernah ga sih kalian tanya ini ke diri kalian. Aku berharap setiap dari kalian memiliki alasan masing-masing.

No comments:

Post a Comment