Monday, December 20, 2021

Berhenti


"Sit, aku mau berhenti."
kata seorang temanku. Dia bukan seorang yang banyak bicara, bukan seorang yang menceritakan dirinya kepada yang lain. Dia adalah pendengar yang baik, tidak mudah terpengaruh, dan bisa masuk ke dalam beberapa lingkungan. Secara tidak sadar, dia adalah adaptor yang baik. Ahh, malu sangat jika dia baca ini, tetapi aku akan tetap melanjutkannya.

Aku sudah mengenalnya dalam jangka lama dan kami berhubungan baik. Bukan hanya dia saja, tetapi beberapa teman yang lain. Kami sering belajar bersama hingga berbagi kisah manis pahit kehidupan bersama. Bukankah kita butuh berbagidalam hidup ini? Mau itu luka ataupun gembira? dan bukankah kebersamaan itu menyenangkan?

Mendengarnya mengeluarkan statement  seperti itu, jujur saja aku terkejut. Aku tidak tahu bersikap. Hingga akhirnya, "kapan?" ahh bodoh sekali pertanyaan ini. Aku tidak bisa bertanya kenapa, tidak bisa. Aku menunggunya memaparkan alasannya. pasif sekali aku bukan?

Mendengar pertanyaan bodoh ini, dia tertawa. "Aku takut nyesal." katanya. Aku tidak tahu bersikap bagaimana. Aku tidak mau dia berhenti. Dia bisa, aku menyakini dia bisa. Aku tidak mau dia menyesal. Menyesal adalah fenomena yang sulit disembuhkan, menyesal adalah penyakit yang akan menggerogoti tubuh dan jiwa secara perlahan selama sisa kehidupannya. Obatnya adalah kembali ke masa sebelum menyesal, tapi apakah kita bisa kembali ke masa lalu? Jawabannya tidak bisa dan itu berarti menyesal itu tiada obat.

Aku melihatnya sebagai seorang yang mampu melakukan apapun yang dia mau, dia pintar, dia memiliki ambisi meskipun belum coba dijungkil olehnya, dan dia adalah seorang yang mau berusaha. Aku menyukainya.

Jika bisa, aku ingin menyelami pikirannya dan membongkarnya, lalu menghilangkan “berhenti” itu. Ia tidak boleh berhenti, egoisku dalam hati. Aku tidak bisa mengatakannya. Ia punya keputusannya sendiri, hei apakah boleh rencana itu dihilangkan saja?

Ada banyak kelebihan jika kamu bertahan. Meskipun aku tidak bisa menjawab segala masalahmu, tapi aku akan berusaha membantumu keluar dari masalahmu. Tidak ada kata “terpaksa” dalam mengerjakan sesuatu, bukankah sekarang ini kita butuh trigger dalam mengerjakan sesuatu? Mari kita ganti kata “terpaksa” menjadi trigger.

Jika kamu berhenti, apakah kamu tidak merindukan kita ngafe bareng? Atau kami yang ke kos mu dari pagi hingga sore, tidak jelas mau ngapain, lalu mengomentari detak jam-mu yang sangat besar itu, mengomentari pemilik kos yang tidak mengaspal lorong depan kosmu sehingga kita off-road jika kesana, mengomentari tidak ada air di kos-mu, mengomentari kecepatan jaringan Wi-fi kos-mu, menghabisi jajanan yang dikirim nenekmu, membajak kursi belajarmu, membajak kasurmu, ah banyak sekali yang sudah kita lakukan bersama. Masa kamu berhenti sekarang? Bisakah kamu menggantikan kata “berhenti” dengan “menyelesaikan”? Kurasa tidak lama lagi kita akan selesai. Mari bersabar dan tetap berjuang.

Kita masih tetap berteman meskipun aku berhenti.” Heh, itu tidak akan sama lagi, teman. Kita sudah menjalani jalan berbeda. Pokok bahasan kita sudah berbeda. Meskipun kita berkumpul, pasti akan ada bahasan yang ditahan, takut menyakitimu atau membuatmu sedih. Kamu pun akan menimbun rasa rendah diri, dan kami pun tidak berani bertanya. Takut melukaimu.  Sudah tidak se-leluasa seperti sekarang. 

Aku tidak akan sedih.” Jika katamu begini, aku menyarankanmu untuk pulang lalu berdiam dikamar sendirian. Lepaskan topeng yang sudah kamu pakai seharian, lalu lihatlah ke cermin. Apa mau ku sebenarnya? Apa aku tidak sedih? Coba kamu tanya ke dirimu lalu cari jawabannya, tidak perlu menahannya, cukup katakan saja. Toh ini hanya kamu sendiri yang merasakannya dan yang tahunya. Ini tentang kamu, apa benar maumu seperti itu? Cobalah kamu telusuri lagi. Setelah mendapat jawabannya, peluklah dirimu sendiri dan berterimakasih pada dirimu karena sudah mau jujur.

"tidak bisakah tidak berhenti?" 

Thursday, December 16, 2021

Kerja Sama



Tengah malam begini seharusnya tidur, bukannya menulis di sini. Hei, aku ini bukannya tidak tidur, malah aku sudah sangat merindukan pulau kapukku, tapi apalah daya laporanku belum selesai. Mari kuceritakan beberapa hal mengenai malam ini disela mengetik laporan ini.

Kelompokku dibimbing oleh dosen yang sangat luar biasa menurutku, aku menyukai ide-ide beliau, keterbukaan, dan kekreativitasan beliau. Beliau mungkin adalah impianku di masa depan. Dibawah bimbingan beliau, kami akan melakukan survei berskala provinsi, luar biasa bukan?

Sebelum melakukan survei, maka kami harus menyusun laporan, mulai dari naskah hingga metode penelitan atau survei. Nah, penyusunan ini akan dilakukan 5 orang, yang dipilih secara adil atas persetujuan semua anggota kelompok, termasuk salah seorang yang terpilih ialah aku.

Kami diberikan 3 hari untuk menyusun hingga tinjauan pustaka. Tuhan punya rencana yang lebih baik yaitu aku dan temanku seorang saja yang menyusun. Yang lain? ntah kemana. Mereka memiliki alasan. 

Hei, menjadi dapat diandalkan itu tidak enak. Posisiku dan mereka itu sama, tetapi mereka secara tidak sadar menganggap ku sanggup menyelesaikannya. Itu menyebalkan. Memang benar, kadang aku menghapus apa yang sudah teman-temanku tulis, itu kulakukan untuk menyelaraskan dan membuatnya lebih baik, bukan karena aku tidak menghargai mereka.

Hal yang paling kusuka adalah kerja sama, pembagian beban kerja yang sama, diskusi untuk pengembangan ide, dan menyusun bersama. Bukankah itu lebih baik? sehingga tidak perlu merasa "lebih capek." Hmm, benar benar ya.

Wednesday, December 15, 2021

Tuaian


Mari kuceritakan apa yang kualami minggu lalu, ini bukanlah cerita menarik macam di novel-novel itu. Ini hanya cerita singkat yang kebetulan terjadi padaku, lalu aku menuliskannya disini sambil menunggu dosenku join zoom meeting.

Hari minggu kemarin itu, aku keluar dengan temanku. Teman sekelas sewaktu SMA, teman yang selalu kena hukuman berdua disuruh lari keliling lapangan, teman yang sama-sama suka makan mie, teman yang suka kemana-mana pakai motor, teman yang ga jelas kemana yang penting jalan aja dulu, teman yang suka coba makanan baru lalu mencret bersama-sama, teman gosip hal yang gak penting, dan teman curhat tanpa penyelesaian yaitu ine. Heh, tapi kalian tahu? sudah keren dia sekarang. Ine, sudah jadi pegawai negeri, sangat bangga rasanya. Awalnya, aku bukan teman dekat dia, dia memiliki teman dekatnya sendiri dan aku juga sama, ntah bagaimana bisa akhirnya kami berteman dekat? God's plan, I think.

Destinasi terakhir kami hari itu adalah membeli buku praktis Tes Potensi Akademik (TPA) di gramedia, lampineung. Kami berdua sambil bercerita diatas motor dan disiram panas matahari, kulit gosong tapi tak ada keluhan karena sibuk bercerita. Kami parkir di depan kedai thai tea tepat disamping pintu keluar, mau tahu kenapa? ya karena biar lebih lambat untuk sampai ke pintu masuknya, bercerita lagi, tak ada habis-habisnya.

Saat kami pulang, tak kusangka bapak jaga parkiran sudah ada dibelakang kami, terkejut rasanya. Bapak ini sudah biasa kulihat tapi itu setahun lalu. Hei, aku sudah jarang nongkrong di kedai Thai tea itu sekarang dan kedainya juga sudah berubah. Bukan kedai yang biasa kujajani layaknya selama 3 tahun belakangnya. Aku ini susah untuk makan atau minum makanan baru, perutku tidak cocok semua tempat. Bisa mencret aku. Lemah sekali bukan?

“Hei, apa kabar?” Sapa bapak itu padaku sambil menggepal tangannya dan mengarahkan ke arahku. Jujur saja, aku bingung bagaimana meresponnya. Aku ini tidak suka bersentuhan dengan orang lain. Akhirnya, aku juga mengarahkan tinjuku ke kepalan tangan bapak itu.

“Sangat baik.” Sambil cengengesan dan mengangguk macam boneka Dashboard mobil itu.

“Sekarang kerja?” Tanyanya. Oh Tuhan, stres aku mendengar pertanyaan ini.

“Masih kuliah pak. Koas pak.” Aku menjawab dengan suara terjepit sehingga terdengar seperti cicit tikus.

“Tahun depan selesai?” Lanjutnya. Aamiin, ucapku dalam hati. 

“Insya Allah Pak.” Aku mengangguk sambil menaruh koin ke tangannya. 

“Saya duluan pak.” Akhirku sambil menepuk ine untuk meng-gas motor sesegera mungkin. Mantap ine, dia langsung mengerti.

Aku cukup terkejut mengetahui jika bapak itu masih mengenalku. Ahh, apa yang sudah kulakukan sehingga bapak itu mengingatku. Aku ini kadang cengengesan tidak jelas, banyak omong juga iya kadang, atau bisa juga sok asik gak jelas. Alahai Ramlah, sudah ngapain kamu? Apakah ini yang disebut menuai?

Sepanjang perjalanan pulang, ine asik memuji bapak ini karena ramah menyapaku. Alamak ine ini, tidak tahu saja kalau kawannya ini mungkin saja sudah melakukan hal aneh sehingga bapak itu dapat mengingat dengan baik aku ini. 


Monday, December 13, 2021

Pulang



Beberapa hari yang lalu aku baru saja menamatkan novel "Pulang" karya Tere Liye, ini kali keduaku menamatkannya. Pertama kali kutamatkan novel ini sekitar 1 tahun yang lalu. Yah, pandemic make me have a lot of spare time. Aku juga merasa aku cukup gila bisa menamatkan novel di tengah koas begini.

You know? Aku big fans dari Tere Liye, aku sudah membaca hampir semua karangan beliau. I really enjoy it. "Pulang" bercerita tentang Bujang yang dititipkan oleh bapaknya, Samad, atas restu ibunya, Midah, ke anak mantan bos samad di ibukota, tauke muda. Awalnya aku mengira Bujang itu akan dididik menjadi tukang pukul untuk keperluan keluarga itu, tapi Bujang ini adalah anak spesial dan syukurnya Tauke muda dapat melihat spesialnya itu. Jadi tauke menyekolahkan dan juga melatihnya menjadi tukang pukul, sekali menggarap dua pulau dapat tercapai. Begitulah istilahnya.

Tere Liye ketika menulis, tulisannya itu bisa membuatku termotivasi. Aku merasa ia mendukungku dalam perjalananku menggapai mimpi dan aku juga menemukan intinya, ada nilai yang diberikan, dan aku juga merasa aku bisa mengerti maksud tulisannya itu. Bukankah cukup membingungkan maksudku itu? tapi aku tidak akan menjelaskan maksudnya lebih lanjut. Cukup simpan saja pemahaman untuk diri kita masing-masing.

"Pulang" membawaku untuk menerima kelebihanku, kekuranganku, keburukanku, kebaikanku, dan setiap yang ada pada diriku. "Pulang" membawaku melihat diriku lebih dalam dan lebih detail. Aku rasa aku telah berlari terlalu jauh, bersedih terlalu dalam, dan bersenang terlalu tinggi, hingga aku tidak bisa kembali, "Pulang" ini membawaku ke tempat seharusnya ku kembali.

Awalnya, aku berpikir makna pulang itu adalah aku kembali ke keluargaku, kerabat, sahabat, atau teman-teman, tetapi setelah aku memahami lebih jauh maksud Tere Liye dalam novel itu, aku menemukan bahwa pulang itu berarti kembali kepada diri sendiri dan menerima diri ini bukan milik diri tetapi milik yang Maha Kuasa,  zat yang wajib wujud, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Ahh, cukup sekian saja aku bercerita hari ini, semoga ada isinya ya.