Salah satu sore di bulan kemarin aku jalan bareng teman
dekatku, seperti biasa, kami keliling kota Banda Aceh, lihat apa yang bisa kami
lihat dan mengomentari apa yang bisa kami komentari. Awalnya kami mau jogging
di lapangan blang padang, udah jogging sih -gak jogging cuma power
walking aja sambil cerita apa aja yang udah kami lewati beberapa hari ke
belakang, kan lumayan juga tu buat lepasin penat ditengah hari-hari gak kuliah.
Setelah dari lapangan blang padang sekitaran jam 6 sore baru
kami keluar dari blang padang, mau minum kopi di daerah punge. Memang udah agak
telat sih, kan mau magrib jadi jalanannya lumayan ramai dan padat. Berhubung
kami pakai motor jadi gak terlalu terasa, kan bisa nyalib-nyalib yang dihadiahi
bunyi klakson oleh kendaraan roda empat beratap dan para rombongan becak sesak penumpang.
Di tengah kemacetan itu ada satu becak yang menarik perhatianku
dan teman dekatku. Kami berdua yang awalnya asik ngoceh jadi terdiam memerhatikan
becak. Sebenarnya becaknya biasa aja, malah sangat-sangat biasa. Becaknya itu
becak barang dengan motor yang tinggal kerangka dan aku yakin kalau setangnya
bergetar habis-habisan kalau lagi jalan. Becak barang itu gak bawa barang, tapi
bawa seorang bapak dan anak yang lagi tidur di pangkuan si bapak.
Waktu itu yang aku ingat, kalau si anak diselimutin pakai
kain jarik dan mulut terbuka, mungkin saking nyenyaknya tidur ditengah
keributan jalanan. Saat itu aku terpikir,
“Kok bisa ya si anak nyenyak banget tidurnya? apa baru minum
obat tidur ya?”
“Seharusnya bukan kehidupan seperti ini yang pantas untuk
masa kecilnya.”
Idealis banget gak sih pemikiranku? aku aja ketawa setiap pikiran-pikiran
aneh muncul dalam benakku. Aku otomatis membandingkanya dia dengan diriku sendiri.
Aku gak bisa bilang masa kecilku indah, tapi jujur saja aku sangat menikmati
masa itu dan setiap apa yang kuinginkan, mereka selalu mengusahakan atau jika
tidak bisa terpenuhi mereka akan memberikan penjelasan kepadaku. Kalau aku
masih tetap keras kepala, ya bakalan di marahin.
Saat melihat keadaan si anak itu, di satu sisi aku sangat
bersyukur dengan apa yang kudapat selama ini dan di sisi lainnya, aku merasa buruk
karena disaat aku mendapat apa yang kuingin dan kebutuhanku terpenuhi ternyata
ada seorang bapak yang berjuang untuk keluarganya dan seorang anak yang terlihat
enjoy menikmati hidup di dalam serba ketidakcukupannya.
Setiap melihat grafik kemiskinan di Indonesia, Aceh menjadi
salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia dan Se-sumatra.
Aku selalu menapik kenyataan tingkat kemiskinan itu, karena menurutku ‘Aceh
tidak semiskin itu’, karena teman-temanku gak ada yang terlihat ‘tidak punya’,
rumah-rumah yang kulewati setiap keluar rumah adalah ‘rumah gedungan’, di
kompleks perumahanku juga tidak ada ‘yang tidak ada kerjaan’, dan sumber daya
alam di Aceh ini lebih dari ‘cukup’ untuk dijadikan pekerjaan. Itulah pemikiran
‘polos’ku. Kalau mau ketawa, silahkan.
Aku selalu melihat sisi terbaik dari satu hal. Aku yang kurang
main, ya percaya begitu saja dengan pemikiranku ‘Aceh tidak semiskin itu’
dengan didukung fakta jika Aceh memiliki dukungan finansial yang lebih dari
cukup yaitu dana otonomi khusus. Memang sangat mendukung pemikiranku.
Si anak yang ketiduran di atas becak barang itu membantuku
melihat kebalikan ‘sisi terbaik’, aku tidak tahu apakah si anak mendapatkan pendidikan
yang mumpuni atau apakah si anak mendapatkan waktu bermain yang cukup dengan
teman-teman sekompleks perumahannya atau apakah si anak akan ikut dengan bapaknya
bekerja atau ketika sakit, apakah si anak mendapatkan fasilitas yang mumpuni
atau tidak. Aku tidak tahu secara detail tentang si anak.
Nyatanya, kita tidak bisa menyalahkan. Kita tidak bisa
menyalahkan pemerintah pusat atau pemerintah Aceh. 15 tahun Aceh mencoba bangkit
setelah kejadian MoU dan memang ada hasil-hasil yang dapat dilihat dan ada juga
yang agak ‘aneh’. Sama halnya pemerintah pusat yang bukan hanya mengurusi satu
daerah saja, tapi ada banyak daerah di Indonesia ini ataupun, menyalahkan
takdir karena apapun yang terjadi di dunia pasti memiliki alasannya.
Solusi? ya mungkin kita perlu membuat solusi bukan menuntut
sebuah solusi, mencoba inovasi untuk memberi dukungan kepada anak-anak yang
bukan hanya seperti ‘si anak’, tapi anak-anak yang lain juga.
Oh ya, aku sangat menunggu hal-hal yang membantuku melihat
sisi kebalikan dari ‘sisi terbaik’.
No comments:
Post a Comment