Monday, August 10, 2020

Bapak dan anaknya

Salah satu sore di bulan kemarin aku jalan bareng teman dekatku, seperti biasa, kami keliling kota Banda Aceh, lihat apa yang bisa kami lihat dan mengomentari apa yang bisa kami komentari. Awalnya kami mau jogging di lapangan blang padang, udah jogging sih -gak jogging cuma power walking aja sambil cerita apa aja yang udah kami lewati beberapa hari ke belakang, kan lumayan juga tu buat lepasin penat ditengah hari-hari gak kuliah.

Setelah dari lapangan blang padang sekitaran jam 6 sore baru kami keluar dari blang padang, mau minum kopi di daerah punge. Memang udah agak telat sih, kan mau magrib jadi jalanannya lumayan ramai dan padat. Berhubung kami pakai motor jadi gak terlalu terasa, kan bisa nyalib-nyalib yang dihadiahi bunyi klakson oleh kendaraan roda empat beratap dan para rombongan becak sesak penumpang.

Di tengah kemacetan itu ada satu becak yang menarik perhatianku dan teman dekatku. Kami berdua yang awalnya asik ngoceh jadi terdiam memerhatikan becak. Sebenarnya becaknya biasa aja, malah sangat-sangat biasa. Becaknya itu becak barang dengan motor yang tinggal kerangka dan aku yakin kalau setangnya bergetar habis-habisan kalau lagi jalan. Becak barang itu gak bawa barang, tapi bawa seorang bapak dan anak yang lagi tidur di pangkuan si bapak.

Waktu itu yang aku ingat, kalau si anak diselimutin pakai kain jarik dan mulut terbuka, mungkin saking nyenyaknya tidur ditengah keributan jalanan. Saat itu aku terpikir,

“Kok bisa ya si anak nyenyak banget tidurnya? apa baru minum obat tidur ya?”

“Seharusnya bukan kehidupan seperti ini yang pantas untuk masa kecilnya.”

Idealis banget gak sih pemikiranku? aku aja ketawa setiap pikiran-pikiran aneh muncul dalam benakku. Aku otomatis membandingkanya dia dengan diriku sendiri. Aku gak bisa bilang masa kecilku indah, tapi jujur saja aku sangat menikmati masa itu dan setiap apa yang kuinginkan, mereka selalu mengusahakan atau jika tidak bisa terpenuhi mereka akan memberikan penjelasan kepadaku. Kalau aku masih tetap keras kepala, ya bakalan di marahin.

Saat melihat keadaan si anak itu, di satu sisi aku sangat bersyukur dengan apa yang kudapat selama ini dan di sisi lainnya, aku merasa buruk karena disaat aku mendapat apa yang kuingin dan kebutuhanku terpenuhi ternyata ada seorang bapak yang berjuang untuk keluarganya dan seorang anak yang terlihat enjoy menikmati hidup di dalam serba ketidakcukupannya.

Setiap melihat grafik kemiskinan di Indonesia, Aceh menjadi salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia dan Se-sumatra. Aku selalu menapik kenyataan tingkat kemiskinan itu, karena menurutku ‘Aceh tidak semiskin itu’, karena teman-temanku gak ada yang terlihat ‘tidak punya’, rumah-rumah yang kulewati setiap keluar rumah adalah ‘rumah gedungan’, di kompleks perumahanku juga tidak ada ‘yang tidak ada kerjaan’, dan sumber daya alam di Aceh ini lebih dari ‘cukup’ untuk dijadikan pekerjaan. Itulah pemikiran ‘polos’ku. Kalau mau ketawa, silahkan.

Aku selalu melihat sisi terbaik dari satu hal. Aku yang kurang main, ya percaya begitu saja dengan pemikiranku ‘Aceh tidak semiskin itu’ dengan didukung fakta jika Aceh memiliki dukungan finansial yang lebih dari cukup yaitu dana otonomi khusus. Memang sangat mendukung pemikiranku.

Si anak yang ketiduran di atas becak barang itu membantuku melihat kebalikan ‘sisi terbaik’, aku tidak tahu apakah si anak mendapatkan pendidikan yang mumpuni atau apakah si anak mendapatkan waktu bermain yang cukup dengan teman-teman sekompleks perumahannya atau apakah si anak akan ikut dengan bapaknya bekerja atau ketika sakit, apakah si anak mendapatkan fasilitas yang mumpuni atau tidak. Aku tidak tahu secara detail tentang si anak.

Nyatanya, kita tidak bisa menyalahkan. Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah pusat atau pemerintah Aceh. 15 tahun Aceh mencoba bangkit setelah kejadian MoU dan memang ada hasil-hasil yang dapat dilihat dan ada juga yang agak ‘aneh’. Sama halnya pemerintah pusat yang bukan hanya mengurusi satu daerah saja, tapi ada banyak daerah di Indonesia ini ataupun, menyalahkan takdir karena apapun yang terjadi di dunia pasti memiliki alasannya.

Solusi? ya mungkin kita perlu membuat solusi bukan menuntut sebuah solusi, mencoba inovasi untuk memberi dukungan kepada anak-anak yang bukan hanya seperti ‘si anak’, tapi anak-anak yang lain juga.

Oh ya, aku sangat menunggu hal-hal yang membantuku melihat sisi kebalikan dari ‘sisi terbaik’.

No comments:

Post a Comment