Thursday, September 30, 2021

Semua akan baik-baik saja


Aku ketemu video bagus dari tik tok, video berisi speech dari Dalia Mogahed, aku tidak tau dia siapa dan aku juga tidak mencari tentangnya. Video tentang kisah Nabi Nuh dan kapalnya. Jujur saja, aku sudah mendengar cerita ini dari lama dan terus berulang dimana-mana, tetapi aku tidak tahu makna di balik cerita ini. Dalia menyampaikan dengan baik maksudnya, kapal Nabi Nuh itu adalah bentuk penyerahan diri kepada Tuhan. Akal dan pikiran rasanya ingin meremehkan jika kapalnya tidak mungkin tidak hancur di tengah banjir besar itu, tetapi dengan kuasa Tuhan, semuanya menjadi mungkin. Dalia meminta kita untuk memiliki kapal masing-masing, agar dalam keadaan terombang-ambing pun tidak hancur.

Aku merasa mendapatkan pencerahan dari speech itu. Sederhana tapi cukup mengesankan. Apa mungkin ini menjadi mengesankan karena saat itu aku belum memiliki kapal?

Seharusnya besok adalah hari ujian bagian untukku. Tuhan tidak mengizinkan, jadinya aku tidak bisa ujian. Bukan hanya aku, tapi teman segelombangku juga. Dari tadi siang aku berusaha menyelami perasaanku, apakah aku marah, sedih atau kecewa? Aku tidak menemukan apa-apa. Aku tidak marah, sedih, atau kecewa. Biasa-biasa saja.

"Tuhan tidak mengizinkanku."

"Tuhan memiliki rencana yang lebih worth it untukku."

Inilah yang kupikirkan dan terulang-ulang dalam pikiranku. Aku tahu diriku dalam keadaan tidak sekarang ini. Jelas selangkah tertinggal dari teman-temanku yang lain. Aku tidak berhak marah pada keadaan, karena jika aku marah pun keadaan tidak akan berubah. Jika aku melakukan cara licik, maka orang-orang akan memberi label 'opurtunis' untukku. Aku tahu ini serba salah. Aku terperangkap dalam keadaan yang tidak menguntungkan. 

Mau bagaimanapun, aku sudah menaiki kapal. Kapal yang akan membuatku tetap aman dan tenang di tengah ombak yang semaput, aku sudah berlindung dibelakang dinding kapal, jadi semuanya pasti baik-baik saja.

Monday, September 27, 2021

Happily After


 Aku suka film produksi disney. Maknanya ada, jadi aku tidak menonton secara sia-sia menurutku. Ada satu hal yang membuatku berpikir. Mengapa mereka membuat akhir ceritanya 'Happily After'?

Saat kuliah S1 dulu, aku beberapa kali menjadi tim paduan suara untuk acara pelantikan sumpah dokter gigi. Percayalah, aku ini tidak bisa menyanyi, mungkin takdir yang membawaku ke dalam tim itu. Rangkaian acara yang paling kutunggu selain pengambilan sumpah adalah Speech dari Dokter gigi baru. 

“Kami bersyukur atas pencapaian hingga hari ini. Terimakasih kepada orang tua, guru-guru, teman-teman, dan penghargaan terbesar kami untuk pasien yang bersedia membantu kami. Kami percaya ini bukanlah akhir, melainkan awal dari segalanya.”

Isi speechnya selalu formatnya begini, dengan variasi kata-kata dari dokter gigi baru yang terpilih. Aku jadi berpikir akan kata “awal dari segalanya”, aku percaya ini bukan hanya pemanis tetapi memang kenyataannya seperti ini.

Setiap kita telah menyelesaikan atau mendapatkan sesuatu, kata “happily after” kurang cocok digunakan. Setelah menyelesaikan sesuatu, maka otomotis kita akan memulai awal yang baru lagi, dan berusaha lagi untuk menyelesaikan. Bukankah putaran stres, merana, dan crisis akan terulang? Lalu dimana letak “happily after” yang ditawarkan film Disney tersebut saat memulai awal ini? Apakah cinderella setelah hidup bersama dengan pangeran akan selalu bahagia? Apakah mereka tidak akan bertengkar hanya gara-gara secangkir kopi di pagi hari?

Apakah sebenarnya kata "bahagia selamanya" adalah kata ganti untuk "terbiasa"? Kita memang stres menghadapi sesuatu yang baru, tapi disamping itu kita juga sudah terbiasa menghadapi stres dan sudah tahu juga melepaskannya. 

Ketika yudisium untuk gelar sarjana tahun lalu, aku tidak menangis ataupun tidak tertawa tetapi lega. Lega akhirnya aku bisa menyelesaikan skripsi dan lulus semua mata kuliah tepat waktu, saat itu aku duduk di baris pertama. Bagaimana rasanya? aku merasa stres. Stres karena aku akan sangat mudah terlihat. Pikiranku saat itu sudah melayang ke kehidupan klinik yang susah berdasarkan spoiler senior-senior. Aku gugup, stress, tapi aku yakin akan terbiasa. Kurasa begitulah arti "happily after".

Menurutku, happily after  itu bukan tentang tidak pernah konflik saat dalam hubungan, bukan tentang tidak mengeluh saat banyak tugas, bukan tentang down saat dosen menegur, bukan tentang tidak kembali saat tugas tidak di accept oleh dosen, bukan tentang sedih saat teman meninggalkan, bukan tentang kepikiran saat dosen tidak membalas pesan, atau bukan tentang mereka menilaimu tetapi baru berjumpa dalam hitungan jari. Happily after itu tentang tidak menyerah. Hidup ini seperti jalan yang sedang dibangun. Awalnya ditaburi kerikil, setelahnya diberi aspal agar licin. Happily after juga tentang terbiasa, terbiasa tidak marah pada keadaan.

Thursday, September 23, 2021

Penolakan


Tiga hari yang lalu aku beranikan diriku ke rumah calon pasienku, meminta kepastian apakah orang tuanya mengizinkan atau tidak anaknya kujadikan pasien. Jujur saja, aku sangat mengharapkan mereka mengizinkan dan aku akan berusaha menyelesaikan kasusnya secepat mungkin. Aku menunggu kepastiannya sudah 1 bulan karena mereka sekeluarga ke luar kota. 

"Kami belum berencana untuk merawat anak kami. Ini saja sekolah dan ngajinya masih keteteran dan kami berdua (ayah dan ibunya) lagi sibuk-sibuknya." 

Mendengar ini membuat moodku drastis turun dan aku sedih. Ini bukan penolakan pertamaku, tapi ini membekas. Perasaanku seperti itu karena aku menaruh harapan yang sangat besar pada calon pasien yang satu ini, jadi ketika kenyataannya 'tidak dapat' aku menjadi sedih, sedangkan penolakan yang dulu-dulu tidak terlalu kupikirkan karena kurasa, aku masih memiliki pilihan lain. Calon pasien ini seperti ujung tombak untukku, ketika tidak jadi maka aku tenggelam.

Sebenarnya penolakan di awal begini lebih baik, karena aku tidak perlu pusing ke depannya. Jika mereka tidak mengatakan penolakan secara tersurat seperti itu, maka aku akan menganggap pasien dan orang tua pasien kooperatif. Lalu, aku akan meng-acc pasien ke dokter pembimbingku. Setelah di approve barulah aku pusing karena harapan yang lebih besar dari sekarang. Nanti di tengah perjalanan perawatan biasanya akan ketahuan pasien kooperatif atau tidak dan akan lebih memusingkan untukku.

Penolakan akan pedih di awal dan manis diakhir. Aku pastinya akan menghadapi 5 stages of grief, karena begitulah alamiahnya. Bisa jadi karena penolakan ini, aku akan mendapatkan yang 'lebih' lagi di kemudian hari.

Saturday, September 18, 2021

Kata Kasar



Komunikasi itu kebutuhan setiap manusia dan kita sudah memulainya sejak lahir. Komunikasi kita pertama adalah menangis, ya kita akan menangis saat baru lahir dan itu adalah bentuk komunikasi untuk memberitahu jika kita 'hidup', lalu para orang tua akan tersenyum ketika mendengar tangisan pertama bayi mereka. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, kita akan mengadopsi bahasa yang kita dengarkan dari sekitar, di usia 9-12 bulan kita sudah mulai mengeluarkan suara-suara dan sekarang, kita sudah sangat lancar berbicara. Ya, salah satu cara kita berkomunikasi saat dewasa kini adalah dengan berbicara. 

Bicara itu gak boleh dengan sembarangan orang menurutku, karena tidak semua orang tahu cara berbicara dengan baik. Aku tidak mengajak semua orang berbicara dan cenderung ingin mengakhiri percakapan secepat mungkin jika ada orang yang tidak kusenangi mengajakku bicara. Aku tidak suka diriku terperangkap dalam percakapan yang menurutku tidak seharusnya kuketahui. Aku juga takut terluka akibat percakapan tersebut.

Lidah itu lebih runcing dan tajam dari pisau, jadi saat menyayatnya tidak terasa tetapi pedihnya minta ampun. Selama ini aku cukup banyak memiliki kenangan tentang berbicara kasar. Mereka mengomentari cara bicaraku, cara berpakaianku, ekspresiku, merendahkanku tanpa mereka sadari, dan berusaha ikut campur dalam urusanku. Mereka bukanlah seseorang yang mengenalku dengan baik, tetapi berani memberanikan komentar. Menurutku, terlalu banyak komentar dan ikut campur dalam hidup seseorang bukanlah pilihan yang bijak.

"Ini dimatikan ya dek alatnya." Aku baru menghidupkan alatnya, dia baru datang dan mengomentari pekerjaanku tanpa melihat dengan seksama.

"Oh kamu mau pake ya, kakak pikir mau apa, kakak duluan ya." Aku menghidupkan alatnya dan memberesi alatnya, tanpa sepatah kata dia langsung menggunakan.

"Beli tempat khusus ya, buat bahannya." lalu tersenyum dan tertawa bagaikan hal yang kulakukan adalah hal aneh.

"ini kursiku." katanya dengan nada-nada menye-menye. Heh, tadi saat kutanya ini kursi kosong atau gak, tidak ada siapapun yang menjawab. Lalu, dia datang ntah darimana, mengaku ini miliknya dengan nada memojokkanku.

"Kamu tahukan kawan kita itu, jadi yaaa......" ini respon saat aku berusaha membenarkan ucapannya, dimana jika ia teruskan akan menjadi bumerang untuknya dan usahaku sia-sia saja menurutku.

"Kamu harus perbaiki ekspresimu." apakah aku harus tertawa saat perasaanku tidak enak? apakah aku harus membohongi diriku sendiri?

Susunan kata-kata diatas cukup lembut bukan? tapi ini merupakan kata-kata kasar untukku. Cukup untuk membungkam mulutku dan menurunkan energi hingga rasanya aku malas merespon semua perkataan mereka. Aku tidak pernah menjawab saat mendapat kata-kata itu dan ekspresiku akan sedatar dinding, karena aku takut jika aku jawab maka mereka akan lebih terluka dariku. Bisa saja saat itu aku tertawa kering, tetapi aku adalah orang yang mengganggap serius segala sesuatu yang berkaitan dengan jiwa atau fisikku. 

Omong-omong, aku menemukan penjelasan yang cukup baik mengenai kata-kata kasar dari buku yang baru kubeli. Bukunya berjudul 'Tak Mungkin Membuat Semua Orang Senang' karya Jeong Moon Jeong. Penulis bercerita tentang ketidakstabilan emosinya saat atasannya memarahinya atau memujinya, lalu ia membaca tentang seorang anak yang meminta nasihat pada Biksu Pomnyun. Sang Biksu menyamakan kata-kata kasar atau kata-kata jahat dengan sampah, jadi sampah harusnya dibuang ke tempat sampah, saat kita sedang berpikiran dengan kata-kata tersebut berarti secara tidak sengaja kita sedang menyimpan sampahnya, maka pilihan yang bijak adalah membuang 'sampah' yang diberikan oleh orang-orang yang tidak mengenal kita ke tempat sampah.

Aku suka dengan pemikiran penulis. Aku ingin berusaha menyingkirkan koleksi 'sampah' yang telah kutumpuk beberapa saat ini, pastinya aku tidak bisa membuangnya sekaligus. Segala butuh waktu, kan? aku akan berusaha sebaik mungkin. Saat aku sudah menyingkirkannya, maka secara otomatis aku tidak perlu kepikiran dengan kelakuan mereka terhadapku.

Komunikasi yang harusnya berjalan dua arah dan saling menghargai, bisa saja berjalan satu arah dan melukai siapapun. Memilih lawan bicara dan abaikan saja perkataan atau kritikan yang tidak membangun ialah pilihan yang baik. Kritik tajam dari seseorang yang mengenalmu lebih baik dari kritik lembut dari orang yang merasa tahu tentang dirimu setelah sekilas melihatmu.

Sunday, September 12, 2021

[Poetry] Enak

 



Aku semakin yakin,
Apa yang terjadi di dunia ini butuh usaha
Telur saja perlu langkah agar bisa dimakan
Mulai dari ambil pisau untuk pecahin, 
Taruh di mangkok, aduk, lalu tuang ke wajan panas
Hal yang sesederhana itu aja butuh usaha

'Hidup kamu enak banget!'
Sekarang aku paham, kenapa kalau orang sukses dengar ini,
Pasti ada jeda dulu, tidak langsung menjawab
Karena,

Karena mereka sedang mengulas kejadian masa lalu
Hingga mereka menjadi sukses
Dan itu, tidak enak, mereka usaha, susah payah
Jungkir balik agar bisa 'sukses'

Tidak ada istilah 'hidup semudah membalikkan telapak tangan'
Balik telapak tangan juga butuh usaha
Kita harus gerakin otot, baru bisa balik
Usaha merefleksikan kesuksesan