Saturday, September 18, 2021

Kata Kasar



Komunikasi itu kebutuhan setiap manusia dan kita sudah memulainya sejak lahir. Komunikasi kita pertama adalah menangis, ya kita akan menangis saat baru lahir dan itu adalah bentuk komunikasi untuk memberitahu jika kita 'hidup', lalu para orang tua akan tersenyum ketika mendengar tangisan pertama bayi mereka. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, kita akan mengadopsi bahasa yang kita dengarkan dari sekitar, di usia 9-12 bulan kita sudah mulai mengeluarkan suara-suara dan sekarang, kita sudah sangat lancar berbicara. Ya, salah satu cara kita berkomunikasi saat dewasa kini adalah dengan berbicara. 

Bicara itu gak boleh dengan sembarangan orang menurutku, karena tidak semua orang tahu cara berbicara dengan baik. Aku tidak mengajak semua orang berbicara dan cenderung ingin mengakhiri percakapan secepat mungkin jika ada orang yang tidak kusenangi mengajakku bicara. Aku tidak suka diriku terperangkap dalam percakapan yang menurutku tidak seharusnya kuketahui. Aku juga takut terluka akibat percakapan tersebut.

Lidah itu lebih runcing dan tajam dari pisau, jadi saat menyayatnya tidak terasa tetapi pedihnya minta ampun. Selama ini aku cukup banyak memiliki kenangan tentang berbicara kasar. Mereka mengomentari cara bicaraku, cara berpakaianku, ekspresiku, merendahkanku tanpa mereka sadari, dan berusaha ikut campur dalam urusanku. Mereka bukanlah seseorang yang mengenalku dengan baik, tetapi berani memberanikan komentar. Menurutku, terlalu banyak komentar dan ikut campur dalam hidup seseorang bukanlah pilihan yang bijak.

"Ini dimatikan ya dek alatnya." Aku baru menghidupkan alatnya, dia baru datang dan mengomentari pekerjaanku tanpa melihat dengan seksama.

"Oh kamu mau pake ya, kakak pikir mau apa, kakak duluan ya." Aku menghidupkan alatnya dan memberesi alatnya, tanpa sepatah kata dia langsung menggunakan.

"Beli tempat khusus ya, buat bahannya." lalu tersenyum dan tertawa bagaikan hal yang kulakukan adalah hal aneh.

"ini kursiku." katanya dengan nada-nada menye-menye. Heh, tadi saat kutanya ini kursi kosong atau gak, tidak ada siapapun yang menjawab. Lalu, dia datang ntah darimana, mengaku ini miliknya dengan nada memojokkanku.

"Kamu tahukan kawan kita itu, jadi yaaa......" ini respon saat aku berusaha membenarkan ucapannya, dimana jika ia teruskan akan menjadi bumerang untuknya dan usahaku sia-sia saja menurutku.

"Kamu harus perbaiki ekspresimu." apakah aku harus tertawa saat perasaanku tidak enak? apakah aku harus membohongi diriku sendiri?

Susunan kata-kata diatas cukup lembut bukan? tapi ini merupakan kata-kata kasar untukku. Cukup untuk membungkam mulutku dan menurunkan energi hingga rasanya aku malas merespon semua perkataan mereka. Aku tidak pernah menjawab saat mendapat kata-kata itu dan ekspresiku akan sedatar dinding, karena aku takut jika aku jawab maka mereka akan lebih terluka dariku. Bisa saja saat itu aku tertawa kering, tetapi aku adalah orang yang mengganggap serius segala sesuatu yang berkaitan dengan jiwa atau fisikku. 

Omong-omong, aku menemukan penjelasan yang cukup baik mengenai kata-kata kasar dari buku yang baru kubeli. Bukunya berjudul 'Tak Mungkin Membuat Semua Orang Senang' karya Jeong Moon Jeong. Penulis bercerita tentang ketidakstabilan emosinya saat atasannya memarahinya atau memujinya, lalu ia membaca tentang seorang anak yang meminta nasihat pada Biksu Pomnyun. Sang Biksu menyamakan kata-kata kasar atau kata-kata jahat dengan sampah, jadi sampah harusnya dibuang ke tempat sampah, saat kita sedang berpikiran dengan kata-kata tersebut berarti secara tidak sengaja kita sedang menyimpan sampahnya, maka pilihan yang bijak adalah membuang 'sampah' yang diberikan oleh orang-orang yang tidak mengenal kita ke tempat sampah.

Aku suka dengan pemikiran penulis. Aku ingin berusaha menyingkirkan koleksi 'sampah' yang telah kutumpuk beberapa saat ini, pastinya aku tidak bisa membuangnya sekaligus. Segala butuh waktu, kan? aku akan berusaha sebaik mungkin. Saat aku sudah menyingkirkannya, maka secara otomatis aku tidak perlu kepikiran dengan kelakuan mereka terhadapku.

Komunikasi yang harusnya berjalan dua arah dan saling menghargai, bisa saja berjalan satu arah dan melukai siapapun. Memilih lawan bicara dan abaikan saja perkataan atau kritikan yang tidak membangun ialah pilihan yang baik. Kritik tajam dari seseorang yang mengenalmu lebih baik dari kritik lembut dari orang yang merasa tahu tentang dirimu setelah sekilas melihatmu.

No comments:

Post a Comment