Aku sudah mengenalnya dalam jangka lama dan kami berhubungan baik. Bukan hanya dia saja, tetapi beberapa teman yang lain. Kami sering belajar bersama hingga berbagi kisah manis pahit kehidupan bersama. Bukankah kita butuh berbagidalam hidup ini? Mau itu luka ataupun gembira? dan bukankah kebersamaan itu menyenangkan?
Mendengarnya mengeluarkan statement seperti itu, jujur saja aku terkejut. Aku tidak tahu bersikap. Hingga akhirnya, "kapan?" ahh bodoh sekali pertanyaan ini. Aku tidak bisa bertanya kenapa, tidak bisa. Aku menunggunya memaparkan alasannya. pasif sekali aku bukan?
Mendengar pertanyaan bodoh ini, dia tertawa. "Aku takut nyesal." katanya. Aku tidak tahu bersikap bagaimana. Aku tidak mau dia berhenti. Dia bisa, aku menyakini dia bisa. Aku tidak mau dia menyesal. Menyesal adalah fenomena yang sulit disembuhkan, menyesal adalah penyakit yang akan menggerogoti tubuh dan jiwa secara perlahan selama sisa kehidupannya. Obatnya adalah kembali ke masa sebelum menyesal, tapi apakah kita bisa kembali ke masa lalu? Jawabannya tidak bisa dan itu berarti menyesal itu tiada obat.
Aku melihatnya sebagai seorang yang mampu melakukan apapun yang dia mau, dia pintar, dia memiliki ambisi meskipun belum coba dijungkil olehnya, dan dia adalah seorang yang mau berusaha. Aku menyukainya.
Jika bisa, aku ingin menyelami pikirannya dan membongkarnya, lalu menghilangkan “berhenti” itu. Ia tidak boleh berhenti, egoisku dalam hati. Aku tidak bisa mengatakannya. Ia punya keputusannya sendiri, hei apakah boleh rencana itu dihilangkan saja?
Ada banyak kelebihan jika kamu bertahan. Meskipun aku tidak bisa menjawab segala masalahmu, tapi aku akan berusaha membantumu keluar dari masalahmu. Tidak ada kata “terpaksa” dalam mengerjakan sesuatu, bukankah sekarang ini kita butuh trigger dalam mengerjakan sesuatu? Mari kita ganti kata “terpaksa” menjadi trigger.
Jika kamu berhenti, apakah kamu tidak merindukan kita ngafe bareng? Atau kami yang ke kos mu dari pagi hingga sore, tidak jelas mau ngapain, lalu mengomentari detak jam-mu yang sangat besar itu, mengomentari pemilik kos yang tidak mengaspal lorong depan kosmu sehingga kita off-road jika kesana, mengomentari tidak ada air di kos-mu, mengomentari kecepatan jaringan Wi-fi kos-mu, menghabisi jajanan yang dikirim nenekmu, membajak kursi belajarmu, membajak kasurmu, ah banyak sekali yang sudah kita lakukan bersama. Masa kamu berhenti sekarang? Bisakah kamu menggantikan kata “berhenti” dengan “menyelesaikan”? Kurasa tidak lama lagi kita akan selesai. Mari bersabar dan tetap berjuang.
“Kita masih tetap berteman meskipun aku berhenti.” Heh, itu tidak akan sama lagi, teman. Kita sudah menjalani jalan berbeda. Pokok bahasan kita sudah berbeda. Meskipun kita berkumpul, pasti akan ada bahasan yang ditahan, takut menyakitimu atau membuatmu sedih. Kamu pun akan menimbun rasa rendah diri, dan kami pun tidak berani bertanya. Takut melukaimu. Sudah tidak se-leluasa seperti sekarang.
“Aku tidak akan sedih.” Jika katamu begini, aku menyarankanmu untuk pulang lalu berdiam dikamar sendirian. Lepaskan topeng yang sudah kamu pakai seharian, lalu lihatlah ke cermin. Apa mau ku sebenarnya? Apa aku tidak sedih? Coba kamu tanya ke dirimu lalu cari jawabannya, tidak perlu menahannya, cukup katakan saja. Toh ini hanya kamu sendiri yang merasakannya dan yang tahunya. Ini tentang kamu, apa benar maumu seperti itu? Cobalah kamu telusuri lagi. Setelah mendapat jawabannya, peluklah dirimu sendiri dan berterimakasih pada dirimu karena sudah mau jujur.
"tidak bisakah tidak berhenti?"
No comments:
Post a Comment