Friday, July 24, 2020

Naik Boat Pertama Kali

Bulan ini genap setahun pasca aku KKN. Ga nyangka ya udah setahun aja. Aku KKN di desa Curee Tunong, kecamatan Simpang Mamplam, Bireun. Desa tempat aku KKN ini dekat laut, bukan dekat lagi emang tetanggaan sama laut. Jalan ga sampai 5 menit langsung laut, kalau sore bisa lihat sunset, walaupun semenjak aku disana, selalu ketutup awan.


Kelompokku beranggotakan 6 orang, semuanya beda jurusan dan beda karakter. Waktu awal lihat pengumuman kelompok. Aku kesal, tapi ga tau mau lampiasin ke siapa. Coba kalian bayangin aja, aku itu dapat kabupaten yang beda banget sama teman-temanku yang lain, udah itu aku nyari kampungnya di maps itu jauh banget dari ibukota bireun loh, tambah badmood akunya. Soalnya aku dan teman-temanku usahain untuk sekalian isi pendaftarannya, tapi aku dapatnya kebanting jauh, siapa coba yang ga badmood kalau diposisiku?

Pulang ke rumah, aku kasih tau ke orang tuaku, dan tanggapan mereka, kayak biasa. Santai kayak dipantai dan bilang kalau kampung itu dekat sama rumah sepupu masyik-ku (panggilan untuk nenekku). Jadi aku ga usah terlalu panik. Setelah aku ingat-ingat, ternyata iya. Oke, satu masalah selesai, aku ga merasa terasingkan lagi. Seengaknya kalau ada apa-apa, aku udah tau lari kemana.

Tibalah waktunya perkenalan (aku lupa namanya), jadi seluruh mahasiswa yang ikut KKN periode itu (aku lupa aku periode berapa) disuruh kumpul di Gedung AAC Dayan Dawood. Coba bayangin lebih dari 1500 mahasiswa ngumpul di satu Gedung, gila emang kaya demo waktu itu, di sini nih kepalaku rasanya mau pecah, puyeng banget. Tetiba tekanan intrakranial kepalaku meningkat drastis. Berdesakan. badmood. kesal. Semualah bercampur udah.

Perkenalan ini ada 2 hari, di hari kedua aku jumpa sama anggota kelompokku. Di hari itu aku telat datang, karena aku lagi sibuk buat siapin keperluan besok seminar proposal. Walaupun telat, akhirnya aku jumpa sama mereka. Kesan pertama lihat mereka, mereka semua pendiam. Emang iya, pendiam banget. Masa mereka waktu itu berdiri kayak orang marahan, jauh jauh banget bro jaraknya. Akhirnya datanglah aku pada waktu itu yang ga tau malu (mungkin jika keadaan berbeda aku akan malu-malu, tapi berhubung aku buru-buru jadi ga sempat malu-malu), ajak mereka bergabung menjadi satu kelompok dan tanya nama mereka masing-masing. Walaupun setelah pulang dari situ, aku lupa. Aku ga lama-lama untuk kenalan sama mereka, karena aku harus balik lagi ke kampus untuk urus ruangan seminar proposal besok.

Seminggu setelah perkenalan itu, kami berangkat ke curee tunong untuk survey lapangan. Perjalanan ke sana cuma 6 jam pakai mobil, sepanjang perjalanan tebak aja apa yang kulakuin. Tidur. Mantap memang, baru kenal langsung tidur sepanjang perjalanan. Ga ada takut-takutnya. Malam sebelum berangkat, aku revisi pasca seminar proposal biar kepalaku waktu survey lebih plong, jadinya plong benar sampai tidur plong. Sejujurnya, pertama kenalan sama mereka aku udah yakin aja kalau mereka baik-baik orangnya ( ya yakin aja, ga pakai alasan) dan secara ga sadar aku udah mendogma diriku untuk menerima mereka kaya teman dekat karena aku bakalan tinggal di kampung nan jauh disana bareng mereka.

Untuk bisa sampai di kampung itu, aku sangat berterimakasih kepada bantuan Maps dan ketua kelompokku yang asik teleponan sama pak keuchik-nya buat nanya letak kampungnya secara spesifik. Jam 12 siang lewat sikit tibalah kami di meunasah gampong curee tunong. 2 jam ngomong-ngomong sama perangkat kampungnya, abis itu kami di bawa minum kopi di keude dekat pantai. Berhubung waktu kami pergi itu masih siang, mataharinya itu subhanallah panasnya, jadi ga ada satupun dari kami yang mau lihat-lihat lautnya. Bisa ngucur keringat dari ubun-ubun bro. Setelah itu, kami sekelompok di bawa Pak Keuchik ke rumah yang bakal kami tinggali selama di sana, rumah tetua desa yang cukup dihormati disana, aku mau ucapin terimakasih banyak karena udah menerima kami dan have fun bareng kami selama disana.

Aku ga bakal menceritakan full story dari hari pertama sampai hari terakhir aku tinggal disana, di sini aku mau me-review satu hari yang bersejarah dalam hidupku dan salah satu hari yang mengesankan selama KKN.

Jadi, selama disana aku punya rutinitas untuk lihat para nelayan disana tolak boat bareng-bareng di sore hari siap ashar untuk berlayar semalaman dan baliknya baru besok subuh. Pertama kali lihatnya, tercengang sih, boat itu berat banget bro, mereka ber-8 atau belasan orang bakalan sama-sama dorong boat ke arah air dengan ikutin satu komando.

“tolak!!” satu orang yang teriak, lainnya lakuin serentak.

Beberapa subuh aku juga ikut ke keude mak (orang kampung sana panggilnya ‘Kak dar’) yang punya rumah untuk jualan sekaligus lihat suasana pantai kalau lagi subuh. Asli rame banget. Serasa hidup. Tawar menawar harga ikan. Saling lempar lelucon. Nelayan yang narik boat ke arah pantai untuk parkir. Anak-anak saling berlari sambil menghindari kotoran lembu. Lembu yang staycool duduk di atas pasir. Mobil terbuka belakang yang menunggu dipindahkan ikan ke dalam mobil untuk dibawa ke toke yang lebih besar. Aku melihat hal ini sebagai hal baru, hal yang membuatku berpikir kalau dunia ini indah banget hanya dengan diam sambil nyemilin gorengan mak dan perhatiin sekitar.

Aku di keude-nya mak sebenarnya cuma numpang duduk dan makan, sekalian kalau ada yang sapa aku, ya aku balik sapa. Seru dan adem serta kepalaku plong. Bebas dari penatnya susun skripsi. Nah, di minggu terakhir KKN, orang rumah tempat aku tinggal menawarkan untuk naik boat, karena di kampung itu memang mayoritasnya adalah nelayan. Mungkin saja orang rumah tempat kami tinggal menawarkan kami untuk naik boat karena melihat kenorakan kami kalau lagi perhatiin boat.

Jangan pernah bayangin kalau aku bakalan malu-malu menerima, karena aku langsung terima tanpa malu. Aku merasa ini adalah kesempatan yang datang sekali seumur hidup, bisa jadi suatu saat ada lagi tapi kan belum pasti. Kesempatan itu harus digunakan sebaik mungkin dan aku merasa kalau aku menggunakan dengan baik.

Awalnya, anggota kelompokku ada yang ga mau ikut naik, tapi setelah dipaksa-paksa ya dia menyerah juga. Kami coba boat itu setelah nelayan pulang berlayar, di pagi hari sebelum boat-nya di parkir, ya di timing itu kami naik.

Hari itu aku pakai baju kaos biru dan celana kulot yang lebarnya subhanalllah, asli lebar banget sih, gara-gara kulot itu susah banget waktu naik boat-nya. Soalnya dindingnya (aku gatau istilah yang benarnya apa) itu hampir sepinggangku tingginya, jadi emang butuh kerja keras waktu naiknya. Gara-gara aku terlalu excited, waktu itu aku ga terlalu menganggap itu susah.


Setelah naik, si abang yang bertugas kendarain hidupin boat, dan cusss kami jalan sepanjang garis pantai kampung KKN-ku dan kampung-kampung tetangganya. Aku coba pegang air lautnya, ga panas, sejuk airnya, ucapan yang pernah kudengar yang bilang kalo air di tengah laut itu panas terpatahkan gara-gara aku udah pegang sendiri. Aku juga bisa lihat ikan-ikan, bukan paus atau hiu, cuma ikan-ikan kecil yang renang cantik kok.

Jadi waktu udah sampai ke ujung garis pantai kampung tetangga, aku nampak ditengah laut kayak ada rumah, dalam pikiranku ‘keren juga ya orang kampung sini bisa bangun rumah tengah laut.’

“Bang, keren ya ada rumah tuh tengah laut!” aku bilang ke si abang yang lagi supirin boat. Ketawa dia. aku pikir kenapalah dia. Apa pula kan ya yang lucu.

“Sampah itu.” jawabnya. What!!!!

“Yang benar bang?” masih ga percaya. Karena kan dari gambar-gambar di media nampak-in laut itu indah, tempat wisata idamanlah. Khususnya gambar laut aceh ya, soalnya aceh ini terkenal sama pantainya yang keren. Eh ternyata, kenapa fakta dilapangannya begini bro, terkejutlah aku.

“Kalau ga percaya, ayo ke sana.” segera si abang arahin boat ke tempat berada sampah bentuk rumah itu. Ini aku ngomong sama si abang dalam Bahasa aceh ya, kalau aku tulis percakapannya dalam Bahasa aceh nanti aku harus tulis terjemahan juga. Jadi, aku cuma menghemat aja.

Pembuktian si abang benar. Itu memang sampah bro yang udah menumpuk di tengah laut. Aku rasa mabok parah sih para bangsa ikan yang lagi renang cantik. Ranting, batang pohon, kantong plastik, popok bayi mengambang-ngambang di tengah laut. Aku terpesona gituloh lihatnya, hal baru buatku. Ini lebih mengejutkan dari kejutan ulang tahun. Malangnya, aku ga foto, karena waktu itu aku masih pakai tablet jadi aku ga bawa tablet ikut naik boat, takut telempar ke laut sih alasannya.

Dari pemandangan indah yang aku lihat tadi, aku udah tau alasan kenapa dulu Menteri Susi marah-marah gara sampah atau brand-brand kosmetik yang mengiklankan untuk kasih balik botol yang udah abis ke tokonya abis itu dapat poin. Terimakasih untuk fakta yang terpampang di depan mata, karena itu menjadi pembuktian.

Setelah dari rumah bohongan ini, kami di bawa lebih ke tengah laut tepatnya gatek dimana air lautnya udah lebih gelap alias lebih dalam lautnya. Gatek itu adalah tempat nginap para nelayan waktu malam hari saat mereka berlayar, gatek itu 2 kapal besar di gabungin dan ada layarnya. Aku ga bisa bayangin kalau misalnya aku dikejutin abis itu reflek loncat. Astagfirullah, kayanya sekarang tinggal nama.

Waktu naik ke gatek dari boat, asli goyang parah. Awalnya, aku mau jatuh ke laut kalau ga dipegangin kaki sama si abang boat. Thanks si abang karenamu aku ga perlu ketemu hiu. Naik ke atas gatek itu bertambah intensitas goyangnya, aku jalan aja perlu pegangan, kepalaku pusing, mual-mual tapi ga bisa muntah. Untuk take foto aja perlu pegangan, berarti para nelayan itu emang kuat banget sih. Setelah beberapa waktu kami di atas gatek, kami kembali turun dan balik ke pantai.

Pengalaman ini pertama untukku dan ini juga membuka pikiranku. Aku yang menganggap bahwa media menyuguhkan yang sebenarnya, setelah naik boat ini aku sadar kalau ada beberapa hal yang tidak disuguhkan atau disuguhkan dengan cara ‘berbeda’, sehingga bagi orang-orang yang belum ‘tertampar’ akan kenyataan menjadi percaya begitu saja. Aku tau bireun ini adalah salah satu kabupaten besar di Aceh dan curee tunong adalah satu dari sekian kampung di kabupaten ini yang memiliki ‘rumah bohongan’ dan mungkin ‘rumah bohongan’ bisa menjadi pertimbangan untuk peningkatan pembangunan, apakah mau dibiarkan begitu saja hingga bertahun-tahun ke depan atau dibuatkan program yang sedemikian rupa agar 'rumah bohongan' ini lenyap dari muka bumi, ini adalah pilihan dari bireun sendiri.

 


No comments:

Post a Comment