Tuesday, December 8, 2020

Ketika Hilang

 


Ehmm. Sebelum kita mulai, aku mau nanya sesuatu sama kalian. Bagaimana kabar kalian hari ini? apakah kalian punya cerita untuk dibagikan? Ini pertanyaan yang biasa saja, tapi untukku ini luar biasa sih efeknya.

Hari ini cuaca di tempatku cukup terang. Aku tidak perlu bawa sendal jepit atau payung dalam tasku kalau mau pergi-pergi. Tapi aku sedang tidak ingin pergi-pergi, maunya di rumah aja. Di antara hari hari yang cerah, kalian merasa ga sih ternyata kalian banyak kehilangan?

Semua orang benci kata ‘hilang’. Mau itu ‘hilang’ hal kecil ataupun besar. Setiap dari kita pernah merasakannya mau itu di masa lalu ataupun nanti di masa depan. ‘hilang’ bisa muncul saat kita sadar ataupun tidak sadar. Walaupun beda cara munculnya, tapi sama-sama bikin sesak di dada.

Minggu ini aku merasa rakyat Indonesia sedang mendapat banyak kabar buruk, karena kasus positif coronavirus infection disease (COVID-19) di Indonesia sudah mencapai lebih dari 500 ribu jiwa. Kalian merasa ga sih? awalnya kasus COVID ditemukan di wuhan, tiongkok kemudian kasusnya bertambah terus menerus hingga mencapai ribuan jiwa lalu WHO menetapkan kalau COVID ini menjadi pandemi global dan kemudian lockdown diperlakukan secara global walaupun Indonesia agak telat, Selama masa-masa ini, pasti kalian banyak mikir sesuatu yang tidak kalian pikirkan diwaktu kalian dulu sibuk dengan kerjaan atau sekolah, dan aku tentunya juga sangat banyak berpikir, diantara banyak pikiran itu aku merasa disadarkan akan banyak hal. Aku jadi mengerti kalau segala sesuatu itu tidak dapat dipastikan hasilnya.

Contohnya ya lockdown, awalnya 2 minggu, selama 2 minggu dirumah nyusun rencana untuk dijalani nanti setelah 2 minggu lockdown, abistu lockdown diperpanjang sebulan, akhirnya rencana yang tadi udah kususun gagal untuk kujalani, abistu pemerintah memperlakukan new normal yang mana tetap aja mahasiswa kaya aku belum bisa kuliah kayak biasanya. Seenak-enaknya kuliah daring lebih enak lagi kuliah di ruang kuliah. Akhirnya, rencana yang sudah kurencanakan tidak ada satupun bisa kueksekusi. Disini aku merasa kalau ini sesuatu yang kurencanakan tetapi bukan sesuatu yang bisa kupastikan untuk kujalani. Meskipun sudah mulai dijalankan kehidupan seperti biasa, tetapi tetap aja yang hilang.

Bagi mereka yang bekerja, mereka kehilangan pekerjaan.

Bagi mereka yang keluarganya terkena COVID 19, mereka kehilangan sosok penting dalam hidup mereka.

Bagi mereka yang dokter, mereka kehilangan waktu bersama keluarganya, kehilangan percaya diri untuk bergaul dengan teman non-dokter, dan mereka juga kehilangan sejawat yang gugur dalam perang tak tampak tapi ada ini.

Bagi mereka yang sedang dalam hubungan, terpaksa kehilangan sang kekasih karena putus, tak mendapat jalan tengah akibat tak bertemu.

Bagi mereka yang dulunya sehat, hari ini telah kehilangan sehatnya.

Bagi mereka berteman lalu kehilangan sang teman karena tak satu lagi visi.

Bagi mereka yang ayah atau ibunya sakit, terpaksa kehilangan karena sang pemilik semesta telah memanggil terlebih dahulu untuk melepaskan sakitnya beliau-beliau ini.

Bagi mereka yang memiliki sang pendukung, kehilangan sang pendukung karena sang pendukung pergi untuk menjalani kehidupan mereka sendiri.

Setelah kehilangan, menurut psikiatris Elisabeth Kubler-ross, kita akan merasakan 5 tahap kesedihan (5 stages of grief).

1.      Denial (penyangkalan) : ini tahap yang terjadi setelah ‘hilang’. kita menyangkal atas apa yang telah hilang dari kita. ‘ga mungkinlah terjadi.’, ‘pasti ada yang salah ni’ atau contohnya salah seorang orang tua kita telah meninggal, kita berpikir ‘ga lah, ayah/ibuku lagi dikamar tu.’ di tahap ini juga kita menceritakan kejadian kehilangannya berulang-ulang kali sebagai salah satu cara kita untuk deal dengan trauma yang kita hadapi. Penyangkalan yang terjadi ini normal pada setiap kehilangan. Setelah selesai dengan penyangkalan ini maka emosi-emosi lain akan muncul.

 

2.      Anger (marah) : Pada tahap ini kita mulai menyalahkan orang lain, marah kepada kekasih yang meninggalkan kita, marah pada keadaan, marah kepada institusi atau marah kepada para atasan di kantor dan juga marah pada diri sendiri karena merasa tidak bisa menjaga mereka yang telah hilang dengan baik. Saat rasa marah ini datang, rasakanlah marah itu, jangan dipendam, cobalah untuk lepaskan atau ceritakan kepada mereka yang kita percaya.

 

3.  Bargaining (pengharapan/tawar menawar) : pada tahap ini, kita sudah masuk ke pengandaian, pengharapan, dan tawar menawar. Misalnya, “seandainya aja ya aku ke dokter.”, “seandainya ada aja ya aku ngaji di samping beliau tadi.”, “seandainya aja aku ga tidur.”, “seandainya aku bersikap lebih baik”. ya kita mulai berpikir kemungkinan-kemungkinan untuk menghindari kehilangan. Juga kita tawar menawar dengan Tuhan dalam doa-doa kita. Pikiran kita sudah mulai berisi “What if’s..?”. disini cobalah untuk terbuka dengan orang-orang terdekatmu, agar mereka dapat membantumu.

 

4.    Depression (depresi) : Pada tahap ini, tiba-tiba kita menyadari kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan akan kehilangan yang meruntuhkan pertahanan kita. Ruang kosong dalam diri kita terasa demikian parah dan membuat kesedihan kita menjadi dalam, lebih dalam dari yang kita pikirkan. Kita merasakan kesedihan yang intense, tidur yang berkurang, kekurangan nafsu makan, dan kehilangan motivasi. Disini depresi bukanlah tanda mental illness, ini merupakan respon terhadap kehilangan yang begitu besar.

Sambut depresi, biarkan kesedihan dan kekosongan membersihkanmu dan membantumu memahami kehilanganmu. ketika kita membiarkan diri kita merasakan depresi, maka depresi itu akan pergi setelah mencapai tujuan dalam rasa ‘hilang’mu. Oh ya, depresi disini bukan yang memiliki gangguan fungsi yang berkelanjutan dan juga bukan depresi yang disertai dengan pikiran untuk bunuh diri. Kalau depresi menganggu kamu menjalani hari-harimu atau sempat terlintas dalam benak untuk bunuh diri (suicide), segeralah untuk berkonsultasi dengan dokter atau ahli kesehatan mental. Nah, kalau di kampung-kampung kan belum ada dokter ahli jiwa, maka cobalah ke puskesmas. As we know, puskesmas adalah garda terdepan fasilitas kesehatan di negara kita.

 

5.      Acceptance (penerimaan) : pada tahap ini kita sudah menerima kenyataan terjadi, menerima kehilangan yang terjadi kepada kita dan menerima fakta bahwa tidak ada yang dapat merubah kenyataan. Orang yang kita sayangi sudah pergi, kita terima kenyataan itu. Penerimaan disini bukan berarti baik-baik saja dengan kehilangan, tapi belajar untuk hidup berdampingan dengan ‘hilang’ itu, penerimaan agar kita lebih banyak mendapatkan hari-hari  baik.

Untuk yang penasaran lebih detail tentang 5 stages of grief, mungkin kalian bisa baca buku on grief and grieving karangan Elisabeth Kubler-Ross dan co-authornya David Kessler. “ih gimana ni aku cuma ngalami satu doang atau aku ga alami stages kok yang di atas?” Beliau juga bilang dibukunya kalau ga semua orang akan mengalami stage-stages yang aku sebutin di atas tadi, jadi ga usah anxious atau takut ketika ga mengalami stages yang di atas. karena beliau bilang juga kalau setiap orang itu unik dalam mengatasi atau menyelesaikan kesedihannya.

Nangis aja, ga usah malu. Malu karena laki-laki? alahh, ga usah mikir, memangnya laki-laki ga punya perasaan.  Malu karena anak pertama, jadi ga boleh nangis? takut tampilan kuat di hadapan adik-adik runtuh? tampilan itu sekarang ga dibutuhkan, yang dibutuhkan ya kalian mengekspresikan perasaan kalian itu. Jujur pada diri sendiri,. Kalau malu di depan khalayak ramai, silakan menyepi. Seandainya menangis memang bukan gayamu, silahkan tunjukkin sesuai inginmu yang lain. tapi, cara nunjukinnya jangan aneh-aneh ya. Untuk apa kuat diluar, tapi hancur di dalam. yang lama-lama bisa jadi boomerang untuk diri sendiri.

Dalam menghadapi ini semua, kita perlu sabar terhadap diri sendiri, jadi ga usah terlalu kepikiran kalau ada orang komentar tentang rasa ‘hilang’ atau kesedihanmu, karena setiap orang itu punya waktunya masing-masing untuk sembuh.

Bagaimana kabar kalian hari ini? apakah kalian punya cerita untuk dibagikan? karena pertanyaan ini, cikal bakal untuk aku curhat. Ini memang pertanyaan yang simple-nya besar banget. Karena menurutku dengan nanya pertanyaan ini ke orang lain atau orang lain nanya kita, kita secara gak sadar udah cerita mereka. Aku bisa menceritakan apa saja mulai dari bangun pagi hingga tidur lagi. Aku yakin pasti setiap dari kita punya cerita masing-masing. Kalian bisa menceritakan cerita kalian ke teman dekat kalian, ke keluarga kalian, ke partner kalian atau kalau kalian kurang percaya dengan orang-orang ini, kalian bisa ambil secarik kertas dan tulis disitu apapun yang kalian mau. Kenapa? karena ketika kita menceritakan apa yang kita punya mau itu sedih atau senang, rasanya lega dan beban yang kita tanggung lebih ringan. Sinonim, ehmm, persamaannya itu kayak bisul, dimana kalau bisul itu  tetap ditahan/dibiarin aja, ga mau diobatin tetap bakalan sakit nyut-nyut, nah kalau datang ke dokter di keluarin nanah kemudian diresepin obat, lega kan jadinya. Gitu juga masalah, butuh dikeluarkan.

No comments:

Post a Comment